Mohon tunggu...
Nurani Soyomukti
Nurani Soyomukti Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas, Pekerja Sosial dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kelompok Kritis Trenggalek

16 Juni 2016   12:33 Diperbarui: 16 Juni 2016   12:38 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tipe tukang kritik ini adalah yang melakukan kritikan untuk meningkatkan daya tawar. “Ayo, kami minta sepuluh juta, kalau tidak tak ungkit-ungkit lho penyimpanganmu”, kata tukang kritik pada yang dikritiknya. Ada kalanya si tukang kritik ini oleh penguasa dirangkul, dibungkam dengan cara dikasih uang, dikasih posisi, jabatan, dan pekerjaan. Tak heran jika kita melihat bahwa orang atau kelompok orang yang dulunya kritis dan lantang bersuara jika ada penyimpangan, setelah dirangkul dan dikasih pekerjaan, posisi, dan setoran, akhirnya tak pernah terdengar suaranya lagi. Tentu masih ada, meskipun sedikit, yang tak masuk kategori seperti itu.

Jadi, sekali lagi,  kita telah memahami tipe tukang kritik yang pertama, tukang kritik yang tujuannya hanya  untuk mencari keuntungan pribadi, tukang kritik yang bungkam setelah dapat posisi, kenikmatan, dan situasi yang membuatnya tak kritis lagi. Termasuk orang yang daya kritisnya terbatas, tak tahan lama, atau sporadis dan tergantung kepentingan pribadi.

Tapi ada tipe yang berbeda dengan tipe pertama. Katakanlah tipe kedua, yaitu tipe tukang kritik yang independen dan kritiknya disampaikan tanpa  beban. Rata-rata tipe ini adalah pengritik yang merasa tidak punya ketergantungan dengan siapa saja, termasuk dengan kekuasaan atau posisi yang diaggapnya menyimpang dan yang menurutnya layak dikritik.

Yang masuk tipe ini biasanya adalah anak-anak muda dan mahasiswa. Mungkin karena mereka belum terbebani dengan hidup, mampu mencukupi kebutuhan hidup dari orangtua. Intinya, kemandirian dalam memenuhi kebutuhan adalah basis dari pemikiran kritis yang tak punya kepentingan pragmatis dan sesaat. Profesi sebagai wiraswasta, akademisi, penulis, atau pekerjaan yang tidak tergantung dari pihak yang ingin dikritiknya adalah beberapa profesi yang memungkinkan orang untuk kritis.

Kenapa swasta dan bukan pegawai negeri? Tentu saja, kalau pegawani negeri, misalnya, bawahan mengritik pejabat atau pemegang kekuasaan di atasnya, kebanyakan ia akan terhambat kariernya. Makanya, posisi pegawai negeri membuat orang sulit untuk kritis. Ada satu dua orang PNS yang kritis, artinya mereka berani menanggung resiko dari apa yang dilakukan.

Belakangan, misalnya, ada suara-suara kritis terhadap sosok Pemimpin (bupati dan wakil bupati) Trenggalek, baik pemikiran, kebijakan dan tingkahlakunya. Sedikit suara kritis dari media sosial saja tampaknya mendapatkan reaksi yang berlebihan. Yang bereaksi bukan  pemimpin yang dikritik, tapi justru para pendukung dan fans-fansnya. 

Bahkan juga ada kritik  lewat tulisan di web-blog, misal tulisan Nisa Kartika (seorang buruh migran di Hongkong asal Trenggalek) yang mengritik ibu Bupati (Arumi) yang memajang foto di instagramnya, foto di Kafe yang dianggap pengritik berbau Korea. Kalimat Nisa Kartika yang intinya dirinya merasa tergelitik pada bu Arumi yang seharusnya kampanye kuliner lokal agar banyak pendatang dari luar yang penasaran pada makanan Trenggalek, tapi justru memasang foto yang menurut penulis  terkesan mengampanyekan Korean Food.

Atau tulisan mas Suripto (Ketua KPU Kabupaten Trenggalek) yang dimuat di website Nggalek.Co, yang intinya mengritik kegiatan Musrenbang yang dianggapnya kurang bermakna. Meskipun ini adalah kritik dan suara kritis lewat media online dan medsos, ternyata ada reaksi yang menunjukkan bahwa mengritik sepertinya adalah hal yang masih dipandang aneh. Mungkin salah satunya karena euforia kemenangan masyarakat pendukung terhadap Pemimpin yang cukup mendalam perasaan kemenangannya. Sampai-sampai keyakinan mereka yang amat besar bahwa ini adalah pemimpin yang bisa merubah Trenggalek membuat mereka lupa bahwa kritik adalah hal biasa dalam sebuah negara demokrasi.

Sebagian  bereaksi dengan mengatakan: “Buat apa mengritik kalau tak ada solusi”. Ini cukup aneh juga. Sebab mengritik itu memang tak harus memberi solusi. Apalagi yang dikritik adalah yang sedang memegang kekuasaan dan kewenangan besar untuk digunakan. Sementara yang mengritik, seperti sekelas buruh migran, malah dimintai solusi.

Kritik itu bisa dipandang sebagai tindakan mengingatkan. Kalau seseorang mengingatkan orang lain bahwa yang dilakukan itu  tak pantas, ia hanya ingin mengingatkan bahwa itu tidak pantas dilakukan, bukan menyuruh balik apa yang bisa kamu berbuat. Apalagi kritik dari rakyat kecil, yang harus dilayani dan ditolong. Rakyat kecilpun juga bisa bicara dan mengingatkan pada pemimpinnya: Mohon maaf pemimpin, seharusnya kamu melayani kami, kenapa kamu malah melayani mereka. Dan gak mungkin rakyat kecil akan dijawab: Kamu jangan mengingatkan, mana solusimu, mana tindakanmu jangan hanya ngomong! Rakyat kecil yang mau mati minta pertolongan dan mengingatkan bahwa ia pertolongan, malah disuruh bantu nolong!

Sekali lagi mengritik harus dilihat sebagai upaya mengingatkan. Dan mengingatkan adalah mengandung harapan. Mungkin harapannya tak semata agar ia ditolong atau diperhatikan, tapi juga ya tak ada kepentingan selain mengingatkan karena ia ingin yang dikritiknya yang dipandang salah akan memperbaiki kesalahanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun