Mohon tunggu...
Nurani Soyomukti
Nurani Soyomukti Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas, Pekerja Sosial dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membongkar Mitos Penyebab 'Gugat Cerai' oleh Buruh Migran Perempuan Trenggalek

7 Juni 2016   04:56 Diperbarui: 7 Juni 2016   09:35 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cap-cap semacam itu ternyata berakar dari pandangan patriarkal yang secara umum menganggap wanita sebagai hal yang rendah dan murahan, lemah perasaan, tak bisa berpikir, hingga kadang ada anggapan pula bahwa apa yang dilakukan perempuan selalu salah meskipun perempuan melakukannya dengan alasan yang lebih benar dan rasional.  Lebih jauh lagi, patriarki memproduksi MISOGINISME atau perasaan jijik dan benci pada perempuan.

Kadang laki-laki mengabarkan pada temannya bahwa si perempuan—terutama perempuan  yang tak manut dengannya dan dianggap menyakitinya—melakukan kejahatan. Inilah yang juga tak jarang terjadi pada laki-laki yang dicerai atau ditinggal   perempuan buruh migran. Ketika yang menyebabkan kenapa istrinya minta cerai sebenarnya adalah karena hubungan dengannya yang mendapatkan perlakuan yang amat parah, si laki-laki hanya mengatakan bahwa mantan istrinya jahat, bahwa si laki-lakilah yang disakiti. Dia tak menceritakan atau menutupi bagaimana ia melakukan hal-hal yang lebih jahatnya yang membuat istrinya tak mungkin betah dengannya.

Budaya patriarkal memang tak mengakui suara perempuan. Perempuan yang berkisah tak diperdengarkan, perempuan yang justru disakiti justru tak boleh ditunjukkan, karena sejarah (history) memang lahir dari “his story” (bukan “her story”). Maka akhirnya kita akan tahu bagaimana ketika kita harus mendengarkan kisah bagaimana si perempuan itu sendiri diperlakukan.

TRENGGALEK YANG PATRIARKAL

Bicara budaya patriarkal berarti bicara soal bagaimana suara perempuan dibungkam dan masyarakat menyebarkan pandangan dari suara laki-laki dan pihak laki-laki. Pada akhirnya kepentingan dan ideologi laki-laki yang menegasikan kepentingan perempuan membuat perempuan tak didengar suaranya. Sehingga ada baiknya kita mendengar suara perempuan, bukan dari apa yang semata ia bicarakan, tapi juga melihat hati dan batinnya.

Patriarki di Trenggalek pada jaman dulu, katakanlah tahun 1970-an, telah membuat seorang perempuan (Ibu saya)  harus patuh pada orangtua dalam memilih pasangan. Patriarki adalah pembiasaan melihat dunia dari kepentingan bukan kaum perempuan. Jika kepentingan perempuan bicara, maka ia adalah salah. Jika ada laki-laki selingkuh dianggap biasa, itu bagian dari kekuasaan kelelakian yang bahkan harus ditunjukkan pada kawan-kawan laki-lakinya. Tetapi jika perempuan pindah ke lain hati, bahkan ketika hal itu dilakukan karena tak tahan pada penindasan laki-laki sebelumnya, maka hal itu dianggap laknat dan ‘sundal’.

Cara memandang perempuan juga seringkali kasar dan seksis. Jika  perempuan mendengarkan laki-laki dan ia tak setuju, kadang perempuan membantah dengan bahasa halus atau memilih diam. Tapi jika ada  perempuan yang meluapkan perasaannya dengan bicara banyak dan emosional, tak jarang laki-laki yang akan menuduhnya “nyatu cangkemmu loro” (“dasar mulutmu dua”). Mulut dua itu dirujuk satunya adalah vagina. Apa yang melekat pada diri perempuan, dengan keberadaan vagina, dianggap sebagai penyebab kemarahan laki-laki.

Dalam melihat hubungan antara suami-istri, patriarki bisa dilihat pada saat masih menjalin hubungan, juga dilihat setelah hubungan putus. Kita bisa melihat  operasionalisasi ideologi patriarkal ini dari cara pandang laki-laki terhadap kaum perempuan, sikapnya pada perempuan, responnya pada perempuan yang bersikap padanya atau bertingkahlaku yang dianggap berkaitan dengan dirinya, hingga tindakan-tindakan yang ia lakukan pada perempuan yang menjalin hubungan dengannya.

Berikutnya juga kita bisa melihat bagaimana patriarki menunjukkan diri pada kasus bagaimana laki-laki yang telah putus hubungan dengan perempuan. Memang, sekarang kita sudah berada pada jaman yang oleh aturan  negara dan akal sehat dituntut untuk setara dan tidak merendahkan kaum perempuan. Bahkan negara juga menyediakan khusus kementerian yang memberdayakan perempuan. Pemerintah juga menegaskan  pengarus-utamaan gender pada setiap lini dan level kebijakan dan programnya.

Tapi aturan pemerintah belum tersosialisasikan dengan baik. Dan tidak semua masyarakat punya akal sehat pada situasi di mana media-media justru menyebarkan akal yang tidak sehat, irasional, dan justru membodohi untuk kepentingan-kepentingan tertentu dari kekuasaan yang ingin beroperasi lewat jalur mana saja.

Dan ingat, dalam masyarakat patriarkal, istri sudah divonis sebagai pihak yang dilindungi karena lemah. Dilindungi dalam  sebuah  pernikahan artinya ia harus dinafkahi. Patriarki adalah pembagian gender di mana perempuan dianggap berkewajiban melayani suami, sebagai kompensasinya suami harus menafkahi istri. Repotnya adalah ketika patriarki masih menjadi ideologi yang eksis di kepala banyak orang di era yang menuntut semangat keterbukaan dan kesetaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun