Kemudian juga cita-cita agar anaknya bisa sekolah. Keinginan untuk bisa melakukan mobilisasi kelas, dari derajat keluarga kurang mampu menjadi keluarga dengan perubahan nasib yang lebih baik karena anaknya yang mendapatkan pendidikan nantinya bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dan akses informasi untuk mengembangkan diri.
Untuk perempuan buruh migran yang berangkat dalam keadaan belum nikah, mereka juga punya tekad untuk punya modal agar ketika nantinya saatnya nikah bisa siap dan sekaligus membantu keluarganya yang ada di rumah. Di antara mereka memang kemudian menikah setelah dapat uang yang lumayan, dan bahkan setelah nikah juga kembali lagi ke luar negeri untuk mengumpulkan uang agar bisa mendirikan rumah.
Dalam perjalanannya, memang yang terjadi adalah hubungan berjarak. Jarak yang cukup jauh, dan bagi yang sudah berstatus sebagai suami-istri, jarak itu tak memungkinkan kedekatan dan kesatuan fisik—pada hal sebelumnya bisa jadi mereka amat bahagia dengan terpenuhinya penyatuan fisik atau yang disebut hubungan intim (yang sudah dilegitimasi oleh ikatan pernikahan—yang artinya sudah diakui oleh negara dan agama).
Kemudian jarak ini mengakibatkan komunikasi yang kemungkinan besar terhambat, terdistorsi, dan kurang maksimal. Komunikasi terdalam antara suami istri lewat hubungan intim jelas telah hilang pada keduanya. Kebutuhan komunikasi intim ini telah gagal. Sedangkan gagalnya kebutuhan dalam diri manusia tak serta-merta dapat digagalkan begitu saja, tapi butuh pengalihan atau butuh mekanisme sublimasi yang memunculkan pikiran, perasaan, dan perilaku yang bermacam-macam. Pengalihan ini tergantung pada dinamika kondisi yang melingkupi individu.
Umumnya, pihak laki-laki lebih punya gerak yang luas untuk mengalihkan kegagalan kebutuhan. Ia lebih bebas keluar rumah. Dan tak jarang interaksi dengan sesama teman laki-laki di lingkungan sekitar rumah atau lingkungan jauh dari rumah menghasilkan tingkahlaku yang kadang tak disukai orang lain, termasuk keluarganya sendiri, keluarga istrinya, istri yang sedang berada di luar negeri (mertua dan saudara-saudaranya). Jika suami ini tak punya kesibukan produktif seperti kerja yang menghasilkan uang, maka ia akan relatif lebih tertekan lagi eksistensi dirinya. Kenapa demikian?
Karena selain orang nganggur itu memiliki peluang ‘stressed’ luar biasa, orang tersebut juga punya potensi untuk mengisi waktunya yang tak produktif untuk hal-hal yang negatif. Banyak fakta menunjukkan bahwa orang yang tertekan pada level yang cukup tinggi membuatnya sulit menjalin komunikasi dengan orang lain. Ketika suami yang ditinggal istrinya itu punya anak, ia tak bisa berkomunikasi dengan baik dengan anaknya. Apalagi ketika ia banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
Kurang dekatnya ayah dengan anak yang ditinggal ibunya menjadi buruh migran ini juga menambah masalah juga. Misal pihak keluarga si istri (misal mertua) akan merasa si menantu kurang bertanggungjawab. Hal ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan pada si menantu. Si mertuapun membujuk anaknya yang jadi buruh migran itu agar ia tak percaya begitu saja pada suaminya. Apalagi ketika ada tanda-tanda bahwa si suami anaknya justru banyak melakukan kegiatan-kegiatan di luar yang menunjukkan ketidaksetiaan pada istri yang di luar negeri. Si suami malam bersenang-senang, misalnya ada kasus suami yang ditinggal istri jadi buruh migran ini sering ke Kafe remang-remang. Mertua yang merasa disibukkan untuk merawat anak yang ditinggal menjadi ikut marah. Apalagi istri yang berada di luar negeri itu justru malah lebih marah lagi.
Dari kejadian semacam itu, istri bisa marah. Masalahnya, apakah laki-laki (suami) kalau istrinya marah malah kasian dan merubah perilakuknya? Ada kalanya teman sesama laki-laki “nggojlogi”: “Sama istri kok takut!”, “Sama istri kok manut! Mestinya istri yang manut suami!”—Intinya, berbagai pengaruh kadang bisa mengubah sikap suami. Dari dinamika ini, ekspresi kemarahan kadang muncul saat komunikasi misalnya lewat Telfon, atau alat komunikasi online seperti FB, dan lain-lain. Ada kalanya pertengkaran-pertengkaran yang kadang meluap dan kasar dari si suami. Sedangkan ada pula rasa saling marah yang tak terselesaikan.
Pada saat kemarahan inilah tak jarang si laki-laki semakin “stressed”, bisa pula mabuk-mabukan (miras), dan melampiaskan dengan cara ber-“asyik-ria” dengan perempuan lain, meskipun hanya hubungan sesaat seperti karaoke dan dipandu oleh “purel” atau pemandu lagu. Tapi semakin si istri tahu dan dengar tentang tingkahlaku semacam ini, ia pasti semakin marah pula. Dan tentu kita bisa merasakan apa yang membuat buruh migran itu marah? Yaitu saat ia tahu bahwa uang kirimannya yang justru digunakan untuk membiayai kesenangan si suami. Ia merasa dikhianati.
Sampai di sini, hubungan sudah berada dalam keadaan kacau. Si laki-laki “wes ra ngurus” dan tambah cuek pada hubungan. Bisa jadi. Atau dia masih “ngurus” tapi terlanjur banyak menyakiti si istri yang tersiksa di kejauhan sana. Si istri sendiri sudah merasa tak akan memaafkan. Bayangkan ada kasus ketika bertengkar lewat Telfon si suami malah teriak dengan kata-kata kasar yang sama sekali tak layak diucapkan.
Intinya banyak cara yang menyebabkan hubungan menjadi retak. Banyak dinamika ketidakcocokan dan percekcokan yang menyebabkan hubungan akhirnya harus diakhiri. Mengakhirinya bisa setelah bertemu pihak ketiga, ataupun selagi masih sendiri. Dan kembali pertanyaan saya lewat esai ini: Bagaimana seorang buruh migran yang mengakhiri hubungan dengan suami atau melakukan gugat cerai harus selalu disebut sebagai egois? Tukang selingkuh? Teracuni budaya luar? (Maaf!) “Gatal”? Dan cap-cap lain?