Mohon tunggu...
Nurani Soyomukti
Nurani Soyomukti Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas, Pekerja Sosial dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membongkar Mitos Penyebab 'Gugat Cerai' oleh Buruh Migran Perempuan Trenggalek

7 Juni 2016   04:56 Diperbarui: 7 Juni 2016   09:35 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak percaya bahwa yang menjadi penyebab perceraian di kalangan buruh migran (yang mencerai suaminya) adalah egoisme pihak perempuannya. Dan anda tentu percaya bahwa tak mungkin perceraian terjadi tanpa sebab. Lalu jika anda menganggap bahwa pihak perempuan buruh migranlah yang menjadi satu-satunya sebab perceraian, tunggu dulu! Biar saya jelaskan dulu kenapa saya yakin bahwa  anggapan  anda itu perlu dikoreksi.

Lalu apa salahnya istri minta cerai sebagaimana laki-laki juga punya hak menceraikan istri? Bukankah laki-laki dan perempuan memang punya hak yang setara yang tak  harus didiskriminasi antara keduanya dalam soal hak? Kenapa pula jika si perempuan yang minta cerai hal itu seakan tabu dan berkonotasi jelek? Jangan-jangan ini masalah penilaian yang salah dan tidak adil saja.

Tentu berita tentang kian meningkatnya perceraian gugat cerai di  di masyarakat Trenggalek sudah berkali-kali kita baca dan kita dengar. Termasuk bahwa perceraian model itu banyak terjadi pada pasangan suami-istri yang melakukan hubungan jarak jauh (‘long distance relation’) antara Trenggalek dan luar negeri (Hongkong, Taiwan, Singapura, dll). Fakta perceraian jenis ini yang meningkat memang membuat tak sedikit pihak merasa prihatin. Tapi tentu saja kita tak bisa subjektif memvonis sepihak kenapa dan apa yang menjadi sebab pihak perempuannya “ngemohi bojone lanang”.

Kesimpulan yang seringkali dibuat cenderung mengarah pada tuduhan pada pihak perempuan. Misal, ada ungkapan sebagai berikut: “Ya begitu, perempuan kalau sudah  cari uang sendiri, lupa sama suami dan anak”; “Ya begitulah, di Hongkong kan banyak laki-laki ganteng dari pakistan, sedangkan suaminya yang di rumah dan tak bisa ngasih nafkah ya dilupakan”; dan lain-lain, dan lain-lain.

Kesimpulan itu saya anggap buru-buru dan terlalu emosional. Saya tak percaya begitu saja pada kesimpulan itu karena beberapa hal. PERTAMA, perceraian bukanlah suatu keputusan yang terjadi begitu saja. Perceraian didahului oleh proses dan dinamika yang panjang dalam hubungan. Pada proses  yang panjang dalam alur komunikasi antara dua orang yang awalnya menjalin komitmen berpasangan ini harus dilihat. Sayangnya,  mereka yang menilai  adanya perceraian di kalangan buruh migran dan suaminya hampir jarang  yang melihat proses tersebut.

KEDUA, intervensi pihak lain  juga harus dilihat dan jangan diabaikan. Pada perempuan buruh migran, penyebab perceraian bisa karena intervensi laki-laki lain yang dikenalnya setelah ia  memutuskan tak tertarik lagi sama suaminya karena suaminya bisa jadi banyak menyakiti. Faktor-faktor ini juga harus dilihat. Bisa saja ada laki-laki yang memang lihai merayu perempuan yang sudah bersuami, apalagi yang suaminya jauh. Dalam hal ini si perempuan juga harus dilihat sebagai korban. Juga ada intervensi pihak keluarga di rumah. Misal mertua atau saudara  yang mengintervensi uang kiriman maupun hal-hal yang berkaitan dengan rana domestik dari hubungan pernikahan yang berjarak itu.

KETIGA, menilai penyebab hubungan tidak bisa dari pihak laki-laki yang subjektif. Subjektif karena ingin menang sendiri, atau subjektif karena ia tak ingin disalahkan bahwa dia juga turut andil dalam menjadi penyebab kenapa istrinya “ngemohi” si suami. Kalau menilai hanya dari pihak laki-laki, pasti akan hanya menceritakan kesalahan-kesalahan atau perlakuan-perlakuaan istrinya yang jadi buruh migran. Dan tak pernah menceritakan kejelekannya sendiri. Hampir jarang orang yang menceritakan kejelekannya sendiri,  dan rata-rata akan menceritakan kejelekan orang lain yang dibecinya atau tak disukainya.

KEEMPAT, kalau mau adil melihat persoalan hubungan antara sesama manusia. Kondisi dan situasi adalah penyebab nyata dari setiap pikiran, tingkahlaku, dan perasaan manusia. Jadi, menyalahkan satu pihak atau satu gender saja tentu tak adil. Apalagi  dalam kondisi masyarakat yang “gender-biased” dalam selimut patriarkal, jika ingin melihat kondisi dan hubungan yang lebih komprehensif, caranya adalah juga melibatkan upaya membongkar ideologi patriarkal tersebut.

PENYEBAB PERCERAIAN

Kita mulai dari analisa dari kondisi sebagai penyebab. Hampir tak ada yang tidak sepakat bahwa mereka yang berangkat migrasi mencari kerja ke luar negeri (buruh migran) memang dimulai dari masalah. Masalah yang utama dan umum adalah masalah ekonomi. Mereka bertekad untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga.

Sekali lagi saya ingin bicara tentang rumah sebagai cita-cita sepasang suami-istri yang belum punya rumah. Obsesi punya rumah adalah obsesi bagaimana membayangkan seorang perempuan dan suaminya bisa nyaman bercinta di rumahnya sendiri yang tidak “nunut”  orangtua. Juga cita-cita mempersiapkan rumahtangga yang normal dan tidak tergantung terus pada keluarga orang lain (orangtua atau mertua).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun