Mohon tunggu...
Muhammad Nur Amien
Muhammad Nur Amien Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Bebas Bersahaja

Hobi menulis dan membaca semua bidang ilmu dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Papaku Kehilangan Ibuku Secara Mendadak

6 Oktober 2024   11:34 Diperbarui: 6 Oktober 2024   11:36 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papaku Sedih/DOkpri

(Cerpen) Papaku Kehilangan Ibuku Secara Mendadak

Namaku Vitri. aku seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang masih bersekolah di sekolah menengah atas, dan hari-hariku selalu penuh dengan tugas sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler. aku memiliki banyak teman, dan ayahku adalah orang yang paling aku sayangi. Namun, semuanya berubah ketika kami kehilangan ibu, orang yang sangat penting dalam hidup kami.

Ibu adalah wanita yang power full. Dia selalu membantu ayah dan aku dalam segala hal. Suasana rumah selalu hangat berkat senyumnya. Sampai hari itu tiba, ketika semuanya hancur dengan cepat. Tidak ada pertanda bahwa ibu akan meninggalkan kami selamanya. Beberapa jam sebelum kejadian, kami sempat sarapan bersama seperti biasa karena dia sehat dan penuh energi.

Ketika saat itu terjadi, wali kelasku tiba-tiba memanggil aku dan memberitahuku bahwa ada sesuatu yang terjadi di rumah. Semua urat nadiku bergetar. Meskipun aku tidak tahu apa yang terjadi, firasatku sudah buruk. Dengan wajah yang pucat dan bingung, ayah menjemputku di gerbang sekolah. Kami pulang dengan tidak banyak ngomong.

Setelah tiba di rumah, semuanya terasa sunyi. Beberapa tetangga dan anggota keluarga sudah berkumpul. Tubuh ibu terbaring di ruang tengah, dikelilingi oleh para pelayat yang mendoakan ibu dan ada beberapa yang membaca yasiin. Aku tidak bisa berbicara, dan menangis pun sulit bagiku.  Segalanya terasa aneh, seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

Papaku, yang biasanya tegar, tampak hancur. Dia hanya duduk di samping jenazah ibu, memegang tangannya yang sudah dingin. Wajahnya kosong, seolah seluruh semangat hidupnya lenyap bersama kepergian ibu.

"Papa?" bisikku pelan, mencoba mencari keberanian untuk mendekatinya.

Dia tidak menjawab, hanya menatap lurus ke depan. Aku tahu di dalam dirinya, ada kekosongan yang tidak bisa kuisi, tidak bisa diisi oleh siapapun. Kami berdua adalah orang-orang yang ditinggalkan, dan entah bagaimana harus melanjutkan hidup.

Hari-hari setelah pemakaman ibu adalah masa-masa tersulit dalam hidupku. Setiap sudut rumah mengingatkanku pada ibu. Bau masakannya, tawa hangatnya saat menonton televisi, dan kebiasaannya membangunkanku di pagi hari. Semuanya seolah lenyap bersama dengan kepergiannya.

Namun, melihat ayah saya berubah menjadi sosok yang berbeda adalah yang paling sulit. Papa biasanya kuat dan penuh semangat. Dia sekarang sering menyendiri, menghabiskan waktu berjam-jam di kamar sendirian dan memandang foto-foto ibu tanpa bicara. Kami tidak banyak berbicara. Dia hanya berkata singkat atau bahkan mengabaikanku setiap kali aku mencoba mendekatinya.

Meskipun aku tahu bahwa papa mengalami kesedihan, aku juga merasa kehilangan. Aku merindukan ibuku, dan lebih dari itu, aku sangat merindukan sosok papa yang penuh kasih dan selalu ada untukku. Meskipun papa masih ada di sisiku secara fisik, sekarang aku merasa seperti anak yatim piatu, tidak merasa ada kehadiran papa di rumah.

Satu malam, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya. Setelah beberapa detik, terdengar suara pelan dari dalam, "Masuk."

Aku masuk, melihat papaku duduk di ranjang dengan mata sembab. Foto ibu tergeletak di atas meja kecil di sampingnya. Aku duduk di sebelahnya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"Pa, aku tahu papa sedih... Aku juga," kataku perlahan. "Tapi aku butuh papa. Aku merasa kehilangan dua orang sekaligus. Tolong, papa jangan pergi juga."

Papa menatapku, untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa lama. Mata kami bertemu, dan aku melihat air mata jatuh di pipinya. Dia memelukku erat, sesuatu yang sudah lama tidak dilakukannya. Kami berdua menangis malam itu, berbagi rasa sakit yang sama.

Hari-hari berikutnya tidak langsung menunjukkan peningkatan. Kami masih merasakan kehampaan yang sama, tetapi kami mulai belajar untuk berbagi kesedihan itu. Kami terus berbicara tentang ibu dan kenangan indah yang kami miliki bersamanya. Kami belajar bahwa kehilangan tidak pernah hilang sepenuhnya, tetapi kami memiliki kemampuan untuk menjalani hidup meskipun ada lubang besar yang tidak tertutup.
Papa kembali bekerja, dan aku berkonsentrasi pada sekolahku. Meskipun rasa kehilangan selalu ada, hidup kami bergerak maju secara bertahap. Yang paling penting adalah bahwa kami tidak lagi merasa terisolasi. Kami memiliki satu sama lain, dan itu cukup.

Ibu mungkin telah pergi, tetapi cintanya akan selalu ada di antara kami. Dan dengan itu, kami menemukan kekuatan untuk melangkah ke depan, satu langkah kecil demi satu, bersama-sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun