(Cerpen) Papaku Kehilangan Ibuku Secara Mendadak
Namaku Vitri. aku seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang masih bersekolah di sekolah menengah atas, dan hari-hariku selalu penuh dengan tugas sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler. aku memiliki banyak teman, dan ayahku adalah orang yang paling aku sayangi. Namun, semuanya berubah ketika kami kehilangan ibu, orang yang sangat penting dalam hidup kami.
Ibu adalah wanita yang power full. Dia selalu membantu ayah dan aku dalam segala hal. Suasana rumah selalu hangat berkat senyumnya. Sampai hari itu tiba, ketika semuanya hancur dengan cepat. Tidak ada pertanda bahwa ibu akan meninggalkan kami selamanya. Beberapa jam sebelum kejadian, kami sempat sarapan bersama seperti biasa karena dia sehat dan penuh energi.
Ketika saat itu terjadi, wali kelasku tiba-tiba memanggil aku dan memberitahuku bahwa ada sesuatu yang terjadi di rumah. Semua urat nadiku bergetar. Meskipun aku tidak tahu apa yang terjadi, firasatku sudah buruk. Dengan wajah yang pucat dan bingung, ayah menjemputku di gerbang sekolah. Kami pulang dengan tidak banyak ngomong.
Setelah tiba di rumah, semuanya terasa sunyi. Beberapa tetangga dan anggota keluarga sudah berkumpul. Tubuh ibu terbaring di ruang tengah, dikelilingi oleh para pelayat yang mendoakan ibu dan ada beberapa yang membaca yasiin. Aku tidak bisa berbicara, dan menangis pun sulit bagiku. Â Segalanya terasa aneh, seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Papaku, yang biasanya tegar, tampak hancur. Dia hanya duduk di samping jenazah ibu, memegang tangannya yang sudah dingin. Wajahnya kosong, seolah seluruh semangat hidupnya lenyap bersama kepergian ibu.
"Papa?" bisikku pelan, mencoba mencari keberanian untuk mendekatinya.
Dia tidak menjawab, hanya menatap lurus ke depan. Aku tahu di dalam dirinya, ada kekosongan yang tidak bisa kuisi, tidak bisa diisi oleh siapapun. Kami berdua adalah orang-orang yang ditinggalkan, dan entah bagaimana harus melanjutkan hidup.
Hari-hari setelah pemakaman ibu adalah masa-masa tersulit dalam hidupku. Setiap sudut rumah mengingatkanku pada ibu. Bau masakannya, tawa hangatnya saat menonton televisi, dan kebiasaannya membangunkanku di pagi hari. Semuanya seolah lenyap bersama dengan kepergiannya.
Namun, melihat ayah saya berubah menjadi sosok yang berbeda adalah yang paling sulit. Papa biasanya kuat dan penuh semangat. Dia sekarang sering menyendiri, menghabiskan waktu berjam-jam di kamar sendirian dan memandang foto-foto ibu tanpa bicara. Kami tidak banyak berbicara. Dia hanya berkata singkat atau bahkan mengabaikanku setiap kali aku mencoba mendekatinya.