Mohon tunggu...
Nuraman Sjach
Nuraman Sjach Mohon Tunggu... lainnya -

Freelance Media # Penyimak Kompasiana # Penikmat Buku # Penikmat Musik # ... .

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca dan Dangkalnya Cara Berpikir Kita

16 Februari 2014   15:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala saya SMA saya sempat "dikuliahi" oleh almarhum bapak saya. Kata bapak saya kurang lebih begini, "Kalau habis membaca, coba lanjutin dengan menulis lagi".

Waktu itu, dasar anak sekolahan, saya tidak begitu mengerti apa maksudnya. Namun, saat mulai kuliah, disertai keharusan banyak membaca sebagai bagian dari tugas-tugas dosen, termasuk di dalamnya menulis juga, mau tak mau saya pun tergerak untuk menulis. Sebagai hasilnya, baru saya menangkap maksud almarhum orang tua saya berujar waktu itu.

Tugas-tugas kuliah yang waktu itu tergolong banyak memang mengharuskan saya untuk membaca dan menulis. Selain untuk melengkapi tugas-tugas menulis makalah, beberapa dosen saya pun menunjukkan buku-buku apa yang "wajib" saya baca agar nilai-nilai perkuliahan saya terpenuhi. Dan memang akhirnya saya memenuhi rata-rata tugas perkuliahan tersebut.

Makin dalam, tugas-tugas membaca dan menulis itu semakin terasah kala saya dan kawan-kawan kuliah ditugaskan untuk mendiskusikannya. Maka, jadilah bahan bacaan dan tulisan itu menjadi ajang olah pikir kami. Pertanyaan, komentar, dan debat pun menggulir memaksa kami untuk berpikir mengapa kami dapat menghasilkan tulisan-tulisan semacam itu. Meski tematis sifat tulisannya, namun dari hasil "asah otak" itu kami membentuk sebuah cara berpikir kritis. Demikianlah ujung tugas dosen kami waktu itu yang intinya mengajak agar kami yang saat itu mahasiswa menjadi lebih berpikir kritis, tidak menelan mentah-mentah bahan bacaan maupun tulisan.

Dan "bekas-bekas itu" masih ada sampai sekarang.

Kini, membaca itu seakan menjadi "barang mewah" bagi sebagian besar kita.

Banyak dari kita enggan membaca karena banyak alasan. Entah karena sibuk, entah karena dengan alasan bahwa membaca itu tidak menghasilkan (uang) dan sebagainya. Setelah itu, yang namanya "aktivitas membaca" berlalu begitu saja dan tenggelam dengan aktivitas-aktivitas lain yang hemat rata-rata pikiran kita tidak memiliki guna.

Lalu, adakah sebenarnya manfaat membaca itu?

Ada! Itu jawab saya dan mereka-mereka yang merapat dan 'bergaul' dengan dunia literasi.

Memang tidak dapat diuraikan di sini, tetapi dengan membaca sebenarnya kita sedang melaksanakan "tugas kemanusiaan". Saya sebut demikian karena aktivitas inilah yang sebenarnya mengantarkan kita hingga saat ini. Saya akan ambil contoh dari para founding father kita: Tan Malaka, misalnya, ternyata sebelum membukukan tulisan-tulisannya adalah pembaca yang rakus. Meski disebut-sebut "komunis" dan aktif dengan kegiatan kiri pada masanya, bukankah bangun pikirannya di dapat dari buku-buku kiri yang dibacanya. Dan itu jelas bukan dari bahasa Indonesia (pada waktu itu buku-buku kiri tidak ada yang berbahasa Indonesia seperti sekarang).

Belum lagi Bung Karno. Proklamator ini selain jago orasi juga pembaca dan penulis yang rakus. Saya sebut demikian karena kalau kita perhatikan orasi-orasi dan tulisan-tulisannya, bukankah itu semua dari hasil bacaan terhadap buku-buku yang sudah ia apresiasi sedemikian rupa. Pancasila? Saya yakin itu merupakan "buah pikir" dia yang mendalam dari hasil sekian banyak buku-buku yang ia baca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun