Apa itu Imunitas Negara?
Imunitas negara dapat diartikan sebagai kekebalan suatu negara terhadap tuntutan pidana maupun perdata yang berarti suatu negara tidak dapat diadili pada pengadilan negara lain tampa adanya persetujuan negara yang bersangkutan, untuk menjaga kesetabilan dan kesetaraan sehingga negara dapat menjalankan tugasnya tampa hambatan. Imunitas negara ini awalnya bersifat mutlak namun seiring dengan perkembangan zaman imunitas negara yang terbatas mulai diterima secara luas.
Jus Cogens sendiri merupakan norma dalam Hukum Internasional yang telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun, walaupun negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk hukum, bebas untuk mengatur tingkah laku mereka sendiri namun tetaplah ada batasnya, kaidah hukum yang membatasi, mengancam dengan invaliditas setiap persetujuan yang dibuat oleh negara yang bertentangan dengannya, ini lah yang disebut dengan Jus Cogens, contohnya yakni perbudakan, penyiksaan, genosida. Tujuan dari adanya prinsip ini tidak lain dan tak bukan semata mata untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam Hukum Internasional. Asas ini bersifat memaksa dan tidak boleh disampingi, maka dari itu setiap sumber Hukum Internasional yang bertentangan dengannya menjadi batal atau tidak sah sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 53 Konvensi Wina tahun 1969.
Imunitas negara dengan prinsip Jus Cogens merupakan dua aspek yang penting dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan keselarasan nasional suatu negara dalam tingkatan hubungan Internasional, namun disisi lain terkadang kedua aspek ini bertentangan, sehingga disatu sisi pelanggaran terhadap norma jus cogens harus mendapatkan sanksi hukum umtuk melindungi hak asasi manusia (HAM) dan menjaga keamanan serta ketertiban nasional, namun disisi lain eksistensi daripada imunitas negara ini sendiri menjadi penghalang penegakan hukum terhadap pelanggaran tersebut, sehingga menjadi dilema bagaimana menyelaraskan antara penghormatan terhadap kedaulatan negara dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia, seperti halnya konflik yang terjadi pada Negara Palestina dan Israel yang sampai saat ini masih saja berlanjut dan belum menemukan titik terangnya, dalam konflik tersebut jelas Israel melanggar prinsip Jus Cogens karna melakukan pembantaian masal (genosida) tampa pandang bulu terhadap warga palestina dengan dalih perlindungan diri terhadap serangan yang dilakukan oleh pasukan Hamas sehingga perkara ini sulit untuk menemukan titik terangnya.
Apa Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Hukum Jus Cogen?
Berikut adalah beberapa pembahasan penting mengenai konsekuensi Hukum Jus Cogens terhadap imunitas negara dan bagaimana norma-norma jus cogens ini dapat mempengaruhi penerapan imunitas negara dalam kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Selain itu, Konvensi Wina 1961 memberikan bantuan kepada diplomat, delegasi negara ke organisasi internasional, dan individu lain dalam misi khusus mereka di luar negeri. Konvensi Wina 1961 memberikan bantuan kepada diplomat, delegasi negara ke organisasi internasional, dan individu lain dalam misi khusus mereka di negara asing.
Hal ini mungkin untuk memahami rasio kekebalan personaeratione personae yang berdampak pada kepala negara dan layanan diplomatiknya, seperti diplomat dan menteri yang terus menerus melakukan tugas di luar negaranya dan terlibat dalam tindak pidana yang mempengaruhi Kepala negara beserta lembaga - lembaga diplomatiknya, seperti diplomat dan menteri, yang senantiasa melaksanakan tugas di luar negaranya dan terlibat dalam tindak pidana.
Banyaknya kasus yang melibatkan hubungan antara HAM dan kekebalan bangsa-bangsa, tampak jelas bahwa forum tetap memberikan kekebalan kepada bangsa-bangsa asing di forum pembangunan nasional , sekalipun bangsa - bangsa asing itu terkadang melakukan pelanggaran terhadap norma hukum internasional. Mayoritas hakim dalam kasus yang memberikan kekebalan mendukung gagasan bahwa jus cogens tidak mengakibatkan konsekuensi hukum bagi negara - negara yang memiliki kekebalan . Menurut mayoritas hakim , tidak benar dalam hukum internasional bahwa suatu negara dapat memaksakan atau memberikan akibat hukum universal terhadap jus coges yang dilakukan oleh suatu negara.
Dinyatakan pula tidak ada larangan untuk memberikan imunitas negara pada negara asing sekalipun negara ini melakukan pelanggara jus cogens. Hal ini nampak dalam Konvensi menentang penyiksaan yang tidak memuat aturan larangan memberikan imunitas pada negara perpetrator prinsip sovereign immunity tetap tidak dapat diganggu gugat dalam hukum internasional, tetapi tidak pada perkecualian untuk kejahatan internasional yang berat (grave international crimes).
Norma-norma HAM tersebut antara lain meliputi larangan penyiksaan dan bentuk-bentuk penyiksaan lainnya, larangan untuk merampas hak-hak seseorang dan hak untuk hidup. Semua bangsa terikat oleh norma HAM, yang didasarkan pada status jus cogens dan kewajiban yang tidak dapat dikurangi. Berbagai lembaga seperti pengadilan nasional dan internasional sudah menerapkan norma HAM untuk melawan norma kedaulatan negara. Mereka sudah menjatuhkan sanksi tanggung jawab perdata serta pidana pada pejabat pemerintah yang melakukan pelanggaran HAM yang berat. Apabila negara forum tidak dapat melaksanakannya dalam arti melakukan penegakan hukum maka ia harus memberikannya pada negara forum lain yang mampu untuk melaksanakan atau menegakkannya.
Meskipun sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa hierarkhi tidak begitu dikenal dalam hukum internasional, namun jus cogens sebagai norma tertinggi dalam hukum internasional sudah diterima secara umum oleh masyarakat bangsa bangsa. Namun demikian, bagaimana efek pelanggaran jus cogens (seperti pelanggaran HAM yang berat) terhadap imunitas negara tidaklah pernah jelas. Kemungkinan adalah karena masing-masing telah berkembang bebas sendiri-sendiri.
Dalam banyak kasus terkait hubungan antara imunitas negara dengan pelanggaran HAM yang berat nampak bahwa negara forum tetap memberikan imunitas pada negara asing di forum pengadilan nasionalnya sekalipun negara asing itu telah melakukan pelanggaran terhadap norma tertinggi dalam hukum internasional (peremptory norm).
Contoh Kasus yang Terjadi
Beberapa kasus dimaksud antara lain kasus Al Adsani v Kuwait yang diputus oleh Pengadilan Inggris dan European court on Human Right, Jones v Saudi Arabia yang diputus oleh Pengadilan Canada, McElhinney v Ireland yang diputus Pengadilan Inggris serta Beozuri v Iran yang diputus oleh Pengadilan Amerika Serikat. Dari sekian banyak kasus termasuk empat kasus di atas nampak ada keseragaman berpikir para hakim. Semua hakim sepakat bahwa imunitas negara adalah adalah hak yang fundamental bagi suatu negara berdaulat yang merupakan perwujudan dari persamaan kedudukan dan kedaulatan negara. Sejak berabad-abad lampau dan masih terus berlangsung hingga kini, kedaulatan negara (sovereignty) diterima sebagai grundnorm dan inti sari dari hukum dan hubungan internasional. Hal ini dibuktikan dari adanya integritas territorial serta larangan intervensi satu negara terhadap negara lain. Di sisi lain mayoritas hakim juga berpandangan sama bahwa larangan penyiksaan dan pelanggaran berat HAM lainnya menduduki norma tertinggi (peremptory norm) dalam hukum internasional. Peremptory norm adalah non derogable, tidak dapat disimpangi, tidak dapat dimodifikasi atu diubah selain oleh ketentuan lain yang memiliki kedudukan setara.
Author: Septi Melinda Putri, Nur Alifa, Aprilia Wulandari
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H