Sektor kelistrikan merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan suatu negara. Peranan sektor ini tidak hanya sebatas sebagai sarana produksi yang bertujuan untuk memfasilitasi pembangunan sektor-sektor ekonomi lainnya, misalnya pada sektor manufaktur, pertanian, pertambangan, pendidikan, dan kesehatan, namun juga sebagai faktor yang dapat memenuhi kebutuhan sosial masyarakat sehari-hari.Â
Akan tetapi, meski memiliki peranan yang penting, pembangunan sektor ini di Indonesia relatif masih terbelakang. Hal tersebut mengakibatkan tingkat ketersediaan tenaga listrik masih terbatas dibandingkan dengan tingkat kebutuhannya.
Dilihat dari perspektif ekonomi, terbatasnya kemampuan Indonesia dalam mendorong produksi listrik akan menghambat upaya negeri ini untuk memperbaiki iklim berbisnis yang dapat memacu pertumbuhan investasi. Hal ini terjadi karena listrik merupakan prasyarat dasar untuk meningkatkan daya saing melalui perannya sebagai faktor kunci dalam memacu peningkatan efisiensi dan produktivitas (Sambodo, 2009). Berkaca dari negara China yang memiliki kemampuan relatif lebih baik dalam penyediaan infrastruktur tenaga listrik membuat negara China relatif lebih menarik untuk  kegiatan investasi dibandingkan dengan Indonesia.Â
Kemampuan Indonesia yang terbatas dalam mendorong efektivitas produksi listrik juga berdampak pada rendahnya konsumsi listrik per kapita. Misalnya, pada tahun 2009 ketika konsumsi listrik di Tiongkok sudah mencapai angka 2.631,4 KWh per kapita, di Indonesia baru mencapai angka 513,7 KWh per kapita. Namun, ternyata konsumsi listrik per kapita di Indonesia lebih baik apabila dibandingkan dengan India.
Perlu disadari hingga kini ketersediaan tenaga listrik di Indonesia tidak terdistribusi secara merata. Hal ini tercermin dari tingkat elektrifikasi dan konsumsi listrik per kapita yang sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya di Provinsi DKI Jakarta yang memiliki tingkat elektrifikasi dan konsumsi listrik per kapita yang tinggi, hal ini menandakan bahwa daerah tersebut memiliki ketersediaan listrik tertinggi di Indonesia.Â
Sebaliknya, Sulawesi Barat memiliki indeks kelistrikan terendah dan di beberapa wilayah timur Indonesia banyak daerah yang tingkat elektrifikasinya masih jauh di bawah 50%, misalnya di Nusa Tenggara Timur teridentifikasi sebagai daerah dengan konsumsi listrik per kapita rendah yaitu baru mencapai 34,5%.
Selain itu, berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa Pulau Jawa memiliki ketersediaan listrik yang lebih tinggi dibandingkan daerah yang berada di luar Pulau Jawa. Pada tahun 2011, tingkat elektrifikasi di Pulau Jawa mencapai 76% sedangkan di luar Pulau Jawa hanya 64%.Â
Hal tersebut dilatarbelakangi oleh peningkatan jumlah populasi penduduk dan konsentrasi industri di Pulau Jawa. Adanya disparitas dalam ketersediaan tenaga listrik yang tinggi antara daerah yang berada di Pulau Jawa dengan daerah yang berada di luar Pulau Jawa akan mempersulit pembangunan di daerah yang berada di luar Pulau Jawa sekaligus mempersulit upaya pemerintah dalam mendorong investasi dan kegiatan bisnis ke luar Pulau Jawa.
Dalam pengembangan penyediaan infrastruktur terutama pada sektor kelistrikan, Indonesia dikategorikan termasuk negara yang terlambat dalam menyediakan infrastruktur  yang layak sehingga membuat ketersediaan tenaga listrik di negeri ini tidak cukup untuk memenuhi tingkat kebutuhannya. Akibatnya, penyediaan sektor kelistrikan belum benar-benar optimal berperan sebagai pendorong pembangunan ekonomi negara.Â
Disisi lain, terdapat beberapa kebijakan seperti penentuan harga listrik yang masih jauh di bawah harga ekonomi dan semakin besarnya alokasi anggaran subsidi listrik yang berpengaruh pada kemampuan keuangan PT PLN dan pemerintah semakin terbatas dalam meningkatkan ketersediaan listrik.Â
Sehingga pemerintah harus memiliki grand strategy dan road maps yang jelas dan komprehensif. Di mana grand strategy dan road maps yang telah di rencanakan dengan mengutamakan pembangunan berkelanjutan akan membantu pemerintah dalam menciptakan berbagai upaya yang terstruktur dan sistematis guna mendorong peningkatan ketersediaan listrik di Pulau Jawa.
Salah satu upaya tersebut adalah mendorong keterlibatan sektor swasta (non-PT PLN) agar lebih berperan dalam proses produksi tenaga listrik yang menjadi agenda penting untuk diprioritaskan. Dalam korelasi tersebut, sebaiknya keterlibatan sektor swasta diarahkan untuk membangun pembangkit listrik dengan basis non-BBM, seperti batu bara, panas bumi, atau gas alam.Â
Upaya pemerintah untuk memenuhi semua kebutuhan infrastruktur tidak cukup hanya mengandalkan APBN, sebab diperlukan investasi yang besar dan pengembalian dalam jangka waktu yang relatif lama karena dalam pengelolaan operasionalnya pasti membutuhkan biaya yang banyak. Permasalahan tersebut sering kali dihadapi oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah harus mencari solusi untuk memenuhi penyediaan infrastruktur yang memadai salah satunya adalah melalui Public Private Partnership (PPP).
Public Private Partnership (PPP) merupakan kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Dalam beberapa dekade terakhir, PPP menjadi instrumen penting bagi sektor publik untuk membiayai dan mengelola infrastruktur publik serta layanan sektor publik yang sangat dibutuhkan. PPP merupakan terobosan penting yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai kendala keterbatasan dalam penyediaan barang publik.Â
Munculnya konsep ini menjadi cara untuk meminimalisir kegagalan program-program pemerintah karena keterbatasan anggaran, sumber daya, dan teknologi. Kerja sama pemerintah dengan badan usaha atau swasta adalah sebuah bentuk kerja sama berdasarkan kontrak terutama dalam melaksanakan program atau rencana yang telah disusun oleh pemerintah dalam jangka panjang.
Implementasi konsep PPP di Indonesia diperkuat setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Pemerintah mengetahui bahwa tidak semua program dan kegiatan yang direncanakan dapat dilaksanakan sendiri tanpa bantuan pihak lain.
Selain dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan program dan kegiatannya, PPP juga dapat meningkatkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang dilibatkan dalam kerangka keadilan sosial. Sehingga penting bagi pemerintah untuk menarik partisipasi sektor swasta, namun harus tetap diimbangi oleh perubahan tata kelola pemerintahan dan manajemen kebijakan. Pada prinsipnya kerja sama melalui skema PPP merupakan pelibatan antara dua pihak yaitu pemerintah dan swasta untuk bekerja sama sebagai mitra.
Secara umum, PPP bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai bentuk pemenuhan infrastruktur di suatu ruang wilayah. Misalnya memberi kemudahan dalam pengadaan barang-barang publik seperti infrastruktur jalan tol, jaringan air minum, listrik, pelabuhan, dan bandara, serta bangunan perkantoran untuk memfasilitas aktivitas dan mobilitas ekonomi masyarakat juga mengalami persoalan, baik dalam hal sumber daya maupun manajemen pengadaannya.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengembangkan model kerja sama dengan pihak swasta sebagaimana yang telah lama dilakukan oleh negara-negara Eropa dalam berbagai bidang pembangunan terutama dalam pembangunan infrastruktur (Utama, 2010). Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari pembangunan nasional yang berperan sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi, oleh karena itu pemerintah harus mengutamakan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara.
Selama tahun 2010-2014, pemerintah berencana untuk bisa menjual 6 proyek infrastruktur kelistrikan dengan nilai proyek sebesar USD 8,045 milyar kepada pihak swasta. Akan tetapi, satu-satunya proyek yang berhasil terjual hanya Central Java Coal Fired System Power Plant, yaitu proyek pembangunan pembangkit listrik berbahan baku batu bara yang berada di Jawa Tengah (Batang). Proyek ini diperkirakan akan menghasilkan tenaga listrik sebesar 2.000 MW dan nilai proyek tersebut adalah sebesar USD 4 milyar.Â
Namun, pembangunan proyek Central Jawa Coal Fired System Power Plant ini mengalami beberapa masalah. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab melambatnya pelaksanaan pembangunan Power Plant di Batang.
Pertama, kurangnya persiapan dari proyek ini tercermin dari belum selesainya proses AMDAL. Kedua, negosiasi pembelian lahan dengan warga masyarakat di sekitar lokasi Power Plant berjalan lamban. Ketiga, apabila pelaksanaan proyek ini terhenti di tengah jalan karena resistensi masyarakat, belum adanya jaminan bahwa biaya investasi akan diganti oleh pemerintah. Keempat, sulitnya pihak swasta sebagai pemenang tender proyek ini untuk mendapatkan sumber pembiayaan karena proyek Power Plant tergolong sebagai proyek yang berisiko dan ketidakpastian.Â
Proyek Central Java Coal Fired System Power Plant dianggap sebagai proyek percontohan di mana keberhasilan dari proyek ini akan meningkatkan minat swasta untuk terlibat di dalam pembangunan serta pengembangan infrastruktur tenaga listrik lainnya. Oleh karena itu, pemerintah dan stakeholders lainnya harus melakukan upaya serius untuk mengatasi beberapa permasalahan yang teridentifikasi sehingga pelaksanaan proyek ini bisa dilakukan tepat waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H