Salah satu upaya tersebut adalah mendorong keterlibatan sektor swasta (non-PT PLN) agar lebih berperan dalam proses produksi tenaga listrik yang menjadi agenda penting untuk diprioritaskan. Dalam korelasi tersebut, sebaiknya keterlibatan sektor swasta diarahkan untuk membangun pembangkit listrik dengan basis non-BBM, seperti batu bara, panas bumi, atau gas alam.Â
Upaya pemerintah untuk memenuhi semua kebutuhan infrastruktur tidak cukup hanya mengandalkan APBN, sebab diperlukan investasi yang besar dan pengembalian dalam jangka waktu yang relatif lama karena dalam pengelolaan operasionalnya pasti membutuhkan biaya yang banyak. Permasalahan tersebut sering kali dihadapi oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah harus mencari solusi untuk memenuhi penyediaan infrastruktur yang memadai salah satunya adalah melalui Public Private Partnership (PPP).
Public Private Partnership (PPP) merupakan kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Dalam beberapa dekade terakhir, PPP menjadi instrumen penting bagi sektor publik untuk membiayai dan mengelola infrastruktur publik serta layanan sektor publik yang sangat dibutuhkan. PPP merupakan terobosan penting yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi berbagai kendala keterbatasan dalam penyediaan barang publik.Â
Munculnya konsep ini menjadi cara untuk meminimalisir kegagalan program-program pemerintah karena keterbatasan anggaran, sumber daya, dan teknologi. Kerja sama pemerintah dengan badan usaha atau swasta adalah sebuah bentuk kerja sama berdasarkan kontrak terutama dalam melaksanakan program atau rencana yang telah disusun oleh pemerintah dalam jangka panjang.
Implementasi konsep PPP di Indonesia diperkuat setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Pemerintah mengetahui bahwa tidak semua program dan kegiatan yang direncanakan dapat dilaksanakan sendiri tanpa bantuan pihak lain.
Selain dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan program dan kegiatannya, PPP juga dapat meningkatkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta memberikan nilai tambah bagi pihak-pihak yang dilibatkan dalam kerangka keadilan sosial. Sehingga penting bagi pemerintah untuk menarik partisipasi sektor swasta, namun harus tetap diimbangi oleh perubahan tata kelola pemerintahan dan manajemen kebijakan. Pada prinsipnya kerja sama melalui skema PPP merupakan pelibatan antara dua pihak yaitu pemerintah dan swasta untuk bekerja sama sebagai mitra.
Secara umum, PPP bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai bentuk pemenuhan infrastruktur di suatu ruang wilayah. Misalnya memberi kemudahan dalam pengadaan barang-barang publik seperti infrastruktur jalan tol, jaringan air minum, listrik, pelabuhan, dan bandara, serta bangunan perkantoran untuk memfasilitas aktivitas dan mobilitas ekonomi masyarakat juga mengalami persoalan, baik dalam hal sumber daya maupun manajemen pengadaannya.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengembangkan model kerja sama dengan pihak swasta sebagaimana yang telah lama dilakukan oleh negara-negara Eropa dalam berbagai bidang pembangunan terutama dalam pembangunan infrastruktur (Utama, 2010). Pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari pembangunan nasional yang berperan sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi, oleh karena itu pemerintah harus mengutamakan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negara.
Selama tahun 2010-2014, pemerintah berencana untuk bisa menjual 6 proyek infrastruktur kelistrikan dengan nilai proyek sebesar USD 8,045 milyar kepada pihak swasta. Akan tetapi, satu-satunya proyek yang berhasil terjual hanya Central Java Coal Fired System Power Plant, yaitu proyek pembangunan pembangkit listrik berbahan baku batu bara yang berada di Jawa Tengah (Batang). Proyek ini diperkirakan akan menghasilkan tenaga listrik sebesar 2.000 MW dan nilai proyek tersebut adalah sebesar USD 4 milyar.Â
Namun, pembangunan proyek Central Jawa Coal Fired System Power Plant ini mengalami beberapa masalah. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab melambatnya pelaksanaan pembangunan Power Plant di Batang.
Pertama, kurangnya persiapan dari proyek ini tercermin dari belum selesainya proses AMDAL. Kedua, negosiasi pembelian lahan dengan warga masyarakat di sekitar lokasi Power Plant berjalan lamban. Ketiga, apabila pelaksanaan proyek ini terhenti di tengah jalan karena resistensi masyarakat, belum adanya jaminan bahwa biaya investasi akan diganti oleh pemerintah. Keempat, sulitnya pihak swasta sebagai pemenang tender proyek ini untuk mendapatkan sumber pembiayaan karena proyek Power Plant tergolong sebagai proyek yang berisiko dan ketidakpastian.Â