Perkembangan segala jenis usaha yang menjamur akhir-akhir ini membuat persaingan antar pelaku usaha menjadi semakin sengit. Berbagai strategi yang dianggap jitu pun diterapkan dengan harapan dapat bertahan dan menjadi perusahaan yang terdepan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Hal ini tentu bukan hal sulit bagi perusahaan dengan kapasitas yang sudah besar dan dilengkapi dengan teknologi serta tenaga ahli yang berpengalaman di setiap bidang dalam perusahaan tersebut. Namun, bagi usaha dengan skala kecil-menengah, tentu tidak mudah dalam mengikuti persaingan usaha yang sangat ketat. Keterbatasan tenaga ahli dan teknologi yang memadai seringkali menjadi penghambat dalam pengembangan usaha skala kecil-menengah dengan perolehan laba yang tidak terlalu besar.
Pengelolaan persediaan misalnya, perusahaan besar biasanya sudah memiliki sistem penyimpanan dan pencatatan yang baik serta tertata rapi sehingga dapat memperkecil kemungkinan kerugian akibat tercecernya persediaan. Sedangkan bagi usaha skala kecil-menengah yang hanya memiliki tempat usaha yang tidak seberapa, ketidakteraturan dalam pencatatan persediaan seringkali membuat persediaan luput dari pencatatan yang biasanya hanya dilakukan ala kadarnya.
Persediaan merupakan sumber pendapatan utama bagi perusahaan dagang maupun perusahaan manufaktur. Pencatatan persediaan yang sistematis dan terkontrol tentu menjadi dasar perolehan laba yang terukur dengan baik. Menurut PSAK Nomor 14
“Persediaan meliputi barang yang dibeli dan disimpan untuk dijual kembali, misalnya, barang dagang dibeli oleh pengecer untuk dijual kembali, atau pengadaan tanah dan properti lainnya untuk dijual kembali. Persediaan juga mencakupi barang jadi yang telah diproduksi, atau barang dalam penyelesaian yang sedang diproduksi perusahaan, dan termasuk bahan serta perlengkapan yang akan digunakan dalam proses produksi. Bagi perusahaan jasa, persediaan meliputi biaya jasa seperti diuraikan dalam paragraf 16, di mana pendapatan yang bersangkutan belum diakui perusahaan. (lihat Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 23 tentang Pendapatan).”
Dari uraian menurut PSAK dia atas, dapat diambil kesimpulan bahwa persediaan dibagi menjadi :
- Persediaan barang yang dibeli untuk dijual kembali.
- Persediaan barang jadi.
- Persediaan barang dalam proses.
- Persediaan barang dan perlengkapan yang akan digunakan untuk produksi.
- Persediaan barang jasa.
Sedangkan menurut Handoko (1984) menjelaskan bahwa setiap jenis persediaan mempunyai karakteristik khusus tersendiri dan cara pengelolaan yang berbeda. Menurut jenisnya, persediaan dapat dibedakan atas:
- Persediaan bahan mentah (raw materials), yaitu persediaan barang-barang berwujud seperti baja, kayu, dan komponen-komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Bahan mentah dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari supplier atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi selanjutnya.
- Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts/components), yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk.
- Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies), yaitu persediaan barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi.
- Persediaan barang dalam proses (work in process), yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
- Persediaan barang jadi (finished goods), yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau dikirim kepada pelanggan.
Sedangkan untuk sistem akuntansi persediaan sendiri terdapat dua metode yang biasa digunakan yaitu :
- Perpetual (perpetual inventory system)
Sistem pencatatan perpetual selalu membuat catatan setiap terjadinya mutasi persediaan (pembelian, penjualan, ataupun retur).
- Periodik (periodic inventory system)
Pada akhir periode akuntansi dengan menggunakan sistem pencatatan periodik harus melakukan pengecekan fisik terhadap persediaan (stock opname of inventories) dengan cara mengukur dan menghitung berapa jumlah barang yang ada di gudang.
Berdasarkan uraian di atas mengenai persediaan, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa permasalahan persediaan adalah suatu pokok pembahasan yang perlu mendapat perhatian khusus dikarenakan keberagaman jenisnya dan metode pencatatannya.
Kekeliruan pencatatan persediaan pada perusahaan skala kecil-menengah dapat menjadi penyebab berkurangnya pendapatan yang diperoleh. Kekeliruan tersebut memang terkadang tidak terlalu material nilainya apabila dibandingkan dengan usaha skala besar. Namun, bagi usaha skala kecil-menengah, kekeliruan pencatatan tersebut apabila diakumulasikan dalam kurun waktu tertentu, jumlahnya bisa menjadi material dan berdampak pada perolehan pendapatan.
Dalam hal ini, usaha dengan skala kecil-menengah perlu memperoleh pengetahuan lebih banyak mengenai pentingnya pengelolaan persediaan yang baik. Pembuatan aplikasi sederhana bagi pencatatan persediaan juga dapat menjadi solusi bagi kemajuan perkembangan usaha kecil-menengah.
Dengan majunya usaha skala kecil-menengah yang diawali dengan perbaikan pengelolaan persediaannya, persaingan bisnis nasional bukanlah hal yang menakutkan lagi. Bahkan, bukan tidak mungkin Indonesia menjadi negara dengan ekonomi mandiri dengan sektor penyedia produk utama berasal dari dalam negeri.
Referensi :
file:///D:/KULIAH%20'-'9/tingkat%203/semester%201/METLIT/psak-14-persediaan.pdf
http://nurulaini.dosen.narotama.ac.id/files/2014/03/Akuntansi-Persediaan.pdf
Judul TA : Perancangan Aplikasi Pencatatan Persediaan Metode Perpetual dengan Metode Penilaian Rata-Rata pada UMKM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H