Mohon tunggu...
Nuraini Kabeakan
Nuraini Kabeakan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Islam Sumatera Utara, Prodi Tadris Bahasa Indonesia

Hobi saya membaca dan menonton, dengan cara itu saya dapat menambah wawasan dengan cara yang menyenangkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dialek yang Terlupakan

23 November 2024   12:48 Diperbarui: 23 November 2024   12:54 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa kecil di kaki gunung, terdapat dua kelompok orang yang berbeda. Satu kelompok berbicara dengan bahasa halus yang sudah lama diajarkan turun-temurun. Kelompok lain berbicara dengan dialek yang sedikit kasar, tetapi penuh warna. Meskipun mereka tinggal berdampingan, kedua kelompok itu jarang berinteraksi. Semua orang tahu bahwa perbedaan dialek mereka sudah menjadi semacam tembok pemisah.Di tengah desa itu, ada seorang pemuda bernama Sigit. Sigit lahir dari keluarga yang menggunakan dialek halus, tetapi ia sangat penasaran dengan dialek kasar yang sering didengar dari teman-temannya yang berasal dari keluarga berbeda. Setiap kali ia mendengar percakapan menggunakan dialek tersebut, hatinya selalu tergetar. Ada sesuatu yang hangat dan akrab dalam setiap kata yang keluar.

Suatu sore, setelah pulang dari ladang, Sigit berjalan melewati jalan setapak yang terhubung dengan bagian desa yang lain. Dari kejauhan, ia mendengar suara tawa yangmenyenangkan. Itu adalah suara sekelompok anak muda yang sedang duduk di sebuah warung kopi tua. Mereka menggunakan dialek yang selama ini selalu menarik perhatian Sigit.

"Ah, apaan sih kalian!" seru salah satu anak muda itu, tertawa.

"Ada aja kamu, ya!" jawab yang lain sambil mengolok-olok.

Sigit mendekat, ragu-ragu, tapi akhirnya ia menguatkan niatnya. Ia duduk di salah satu kursi kosong di dekat mereka. Mereka berhenti sejenak, memandang Sigit dengan tatapan penuh curiga.

"Eh, Sigit, ada apa?" tanya Rudi, seorang pemuda yang sudah lama mengenalnya.

Sigit tersenyum canggung. "Aku cuma... penasaran, kok kalian sering pakai kata-kata yang berbeda. Itu... kedengaran lebih hidup."

Rudi tertawa. "Kamu ini, Sigit, dari dulu cuma tahu bahasa yang lembut aja. Coba deh, belajar sedikit dari kami, biar gak kaku!"

Tantangan itu membuat Sigit terdiam sejenak. Namun, rasa ingin tahunya lebih besar daripada rasa malu. "Aku mau coba, kalau kalian mau ngajarin."

Hari-hari berlalu, dan setiap sore, Sigit meluangkan waktu untuk bertemu dengan Rudi dan teman-temannya. Mereka mengajarkan Sigit cara berbicara dengan dialek mereka, dengan segala kekasaran dan kehangatannya. Sigit merasa seperti ada pintu yang terbuka lebar di  hatinya. Dialek yang sebelumnya terasa asing dan bahkan sedikit kasar, kini terdengar seperti bahasa yang penuh kedekatan, tawa, dan kenangan. Ia merasa semakin dekat dengan teman-temannya yang berbicara dengan cara itu.Namun, perubahan dalam diri Sigit tidak hanya terjadi di dalam dirinya sendiri. Di desa itu, perlahan, ketegangan antara kelompok yang berbicara dengan dialek halus dan kelompok yang berbicara dengan dialek kasar mulai mencair. Banyak orang yang mulai belajar untuk saling memahami, meskipun mereka tetap mempertahankan dialek masing-masing. Mereka tidak lagi memandang dialek sebagai pembatas, tetapi sebagai kekayaan bahasa yang dapat saling melengkapi.

Pada suatu malam, di sebuah pesta panen yang diadakan oleh warga desa, Sigit diundang untuk memberikan sambutan. Ketika ia berdiri di depan banyak orang, ia merasa gugup. Ia tahu, kali ini ia harus berbicara dalam dialek yang baru saja ia pelajari.Dengan suara lantang dan penuh percaya diri, Sigit mulai berbicara. 

"Saudara-saudara sekalian, hari ini kita berkumpul di sini untuk merayakan hasil kerja keras kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sering berbicara dengan cara yang berbeda. Tapi, saya percaya, meskipun dialek kita berbeda-beda, hati kita tetap satu."Suasana menjadi hening sejenak, lalu beberapa orang mulai tersenyum. Mereka mulai bertepuk tangan dengan riang.

Apa yang sebelumnya dianggap sebagai pemisah, kini menjadi jembatan yang menghubungkan hati mereka.Sigit melanjutkan, "Jangan pernah merasa malu dengan dialek kita, karena setiap kata yang kita ucapkan membawa cerita, membawa kenangan, dan yang terpenting, membawa kita lebih dekat."Orang-orang mulai berbicara dengan dialek mereka masing-masing, namun kini ada saling pengertian dan rasa hormat di antara mereka. Tidak ada lagi jurang antara yang halus dan yang kasar, semuanya menjadi satu dalam keberagaman yang indah.Malam itu, Sigit merasa bangga. Ia tidak hanya belajar tentang dialek yang berbeda, tetapi juga tentang arti persatuan dalam keragaman. Dialek bukan hanya cara berbicara, tetapi juga cara untuk mengungkapkan siapa kita, dari mana kita berasal, dan apa yang kita rasakan, dan dari malam itu, di desa kecil di kaki gunung itu, orang-orang mulai saling belajar, tidak hanya tentang bahasa, tetapi juga tentang hidup bersama dalam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun