"Saudara-saudara sekalian, hari ini kita berkumpul di sini untuk merayakan hasil kerja keras kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sering berbicara dengan cara yang berbeda. Tapi, saya percaya, meskipun dialek kita berbeda-beda, hati kita tetap satu."Suasana menjadi hening sejenak, lalu beberapa orang mulai tersenyum. Mereka mulai bertepuk tangan dengan riang.
Apa yang sebelumnya dianggap sebagai pemisah, kini menjadi jembatan yang menghubungkan hati mereka.Sigit melanjutkan, "Jangan pernah merasa malu dengan dialek kita, karena setiap kata yang kita ucapkan membawa cerita, membawa kenangan, dan yang terpenting, membawa kita lebih dekat."Orang-orang mulai berbicara dengan dialek mereka masing-masing, namun kini ada saling pengertian dan rasa hormat di antara mereka. Tidak ada lagi jurang antara yang halus dan yang kasar, semuanya menjadi satu dalam keberagaman yang indah.Malam itu, Sigit merasa bangga. Ia tidak hanya belajar tentang dialek yang berbeda, tetapi juga tentang arti persatuan dalam keragaman. Dialek bukan hanya cara berbicara, tetapi juga cara untuk mengungkapkan siapa kita, dari mana kita berasal, dan apa yang kita rasakan, dan dari malam itu, di desa kecil di kaki gunung itu, orang-orang mulai saling belajar, tidak hanya tentang bahasa, tetapi juga tentang hidup bersama dalam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H