Mengakhiri ujian dengan lancar, merupakan hal yang membahagiakan bagi para peserta ujian. Ujian hari itu bisa dibilang saya belum cukup bisa. Meski sedikit paham, tapi saya masih merasa kepayahan. Ada beberapa rumus yang membuat saya hampir gila sendiri mencari jawabannya.
"Duh, ini apaaaa? Mau nangis aja dah ini rasanya." Sambat yang saya ucap, nampaknya terucapcukup kencang, soalnya peserta ujian yang duduk di samping saya langsung menoleh ke arah saya sekilas. Sambatan sadar itu tak lain karena rumus yang saya masukkan tidak kunjung memberikan jawaban pada layar komputer. Padahal, hanya beda di kata depan dan tanda petik (ini saya ketahui seberes ujian).
Saat mengetahui bahwa saya belum bisa menjawab soal, saya langsung sadar diri bahwa saya belum terlalu menguasai banyak materi.Â
Masih harus terus belajar, Nur!
***
Selesai berkutat dengan soal, saya keluar ruangan sambil menenteng tas dan jaket, lalu duduk di kursi panjang depan ruang ujian. Saya merogoh tas lalu mengambil botol minum yang isinya masih utuh dan langsung meneguknya sampai tersisa setengah botol. Dahaga yang muncul dari rasa pusing ini lumayan juga.
Satu persatu peserta ujian keluar dari ruangan, lalu langsung ambil posisi memenuhi tempat yang ada di sekitar saya. Sekeliling saya ramai membahas rumus maha kacau itu. Tak terkecuali anak yang beda ruangan. Rumus yang membuat kalang kabut semua ruangan layak menjadi trending topik seketika. Tentu saja saya ikut memberikan testimoni atas soal tadi. Sobat sambat, mashokkk!Â
***
"Iya, dia langsung marah sama gua. Padahal gua nggak sengaja ngomongnya."
Saat saya mengedarkan pandagan, tak sengaja saya menoleh ke obrolan dua orang yang tidak jauh dari tempat saya berada, sayup-sayup kata yang terdengar ke telinga saya itu membuat saya yakin betul kalau ada yang membicarakan saya, dan saya langsung bisa menebak ke mana arah perbincangan antar kepala itu.
Ketika mata saya ditatap balik oleh salah satu yang sedang berbicara itu, saya yakin, pasti lagi bahas yang tadi.Â
Saya menghampiri mereka yang sudah menyadari keberadaan saya sejak kejadian adu pandang tadi.
"Gimana nggak kesal si, saya ngomong sama siapa, yang jawab siapa. Udah gitu omongannya nyelekit betul. Ngomong "Ba**t lu!"Â tanpa ada permasalahan. Siapa yang nggak sakit hati coba digituin?" Saya langsung menghampiri mereka dan mencoba menjelaskan balik dengan sedikit masih ada perasaan kesal.
"Sakit kan ya digituin?" Seloroh teman yang menjadi lawan si pembicara sambil tertawa.Â
Situasi dalam perbincangan kami bertiga memang semi serius tapi ada ketawanya. Mungkin kalau boleh saya simpulkan, agar tidak berlanjut pertikaian. Hehehe.Â
"Ya kan gua ngomongnya nggak pake perasaan, Nur. Lu langsung marah gitu aja, lu mah baperan." Kilah teman yang membuka topik pembicaraan, yang tadi beradu tatap dengan saya.
"Bukan baper. Lu ngomongnya juga nggak dipikir dulu si. Lagi gua juga ngomongnya sama dia (teman lain), lu tiba-tiba asal nyeplos begitu. Kan gua nggak ada masalah apapun sama lu."
"Ya sori Nuy, lu kayak nggak tahu gua aja deh." Lalu dia tertawa setelahnya.
Seharusnya bukan untuk dimintai pemahaman dan kewajaran ya dalam  hal-hal yang seperti ini. Bukannya tidak mau, hanya saja saya takut ini akan menjadi kebiasaan bagi yang bersangkutan.Â
Memang, saya juga paham, keadaan ruang ujian saat itu tidak ada tenang-tenangnya. Masing-masing panik lantaran rumus kunci belum ketemu. Di keadaan kayak gitu memang inginnya teriak atau meluapkan kebingungan dengan sambatin si soal. Tapi, untuk perihal nyeplos sembarangan juga ada waktu dan tempatnya, bukan?Â
Yang menjadi masalah adalah ketika sedang di keadaan yang tidak mengharuskan bercanda, tapi dia seolah mengucapkan kata itu sebagai candaan. Namun dengan tatapan dan intonasi yang tidak ada unsur tawanya kepada lawan bicara.
Sakit hati? Tentu. Saya pun tidak mengerti kenapa kata-kata itu terlontar untuk saya. Â Sebab saya merasa tidak mengganggu atau membuat masalah dengannya.Â
Merespon marah? Saya merasa hal itu wajar terjadi, kan?Â
Baperan? Cukupkan lah kalian para pendalih, "Kan gua bercanda doang elah lu baperan amat.~" Sejujurnya kalimat itu nggak membantu memperbaki perasaan si objek yang sudah terlanjur sakit hati karena perkataanmu, teman. Malah memperkeruh deh, asli.
Meskipun teman saya ini sudah meminta maaf dan menganggap itu hanya tindakan ketidaksengajaannya, saya maafkan, dan saya harap itu nggak terjadi lagi ke saya atau orang lain.
Mungkin ada orang yang terbiasa dengan kata-kata itu, ada yang bisa menganggap kata tersebut sebagai candaan dan itu nggak apa-apa buat dia. Tapi nggak semua orang bisa menerima perkataan semi kasar itu sebagai candaan. Apalagi bagi orang yang di lingkup pertemanannya nggak pernah menggunakan kata-kata tersebut. Kaget? Saya rasa hal itu wajar saja.
Bagi orang yang nggak biasa bercanda dengan kata-kata 'nyeleneh' kayak gitu, tentu akan menyinggung perasaannya. Apa lagi kalau nggak ada di suasana yang benar-benar bercanda. Ya dipikir aja itu efeknya gimana. Â
Ini juga sebagai pelajaran bagi saya pribadi. Poinnya adalah, kita jangan sembarangan mengucapkan kata kepada seseorang. Mau itu orang yang dikenal atau orang yang baru kenal. Karena kita nggak tahu bagaimana perasaan mereka saat itu, kalau kata-kata kita diterima, ya berarti kita masih untung, namun kalau kata-kata itu nggak diterima dan menyakiti hatinya, repot sudah. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H