"Hidupku singkat, hanya untuk makan dan bereproduksi kemudian mati, selesai!" lanjut Kupi. Ia kembali terbang, hinggap di beberapa bunga lain, kemudian kakinya mengecek keberadaan nektar dan mencicipinya.
"Kamu tidak makan?" tanya Kupi yang sibuk menikmati makanannya.
Apis menggelengkan kepala dengan senyum tipis.
"Hidupmu jauh lebih baik dari aku, Apis. Usiamu panjang, bisa sampai 20 minggu, loh. Dan selama itu, kamu dan kolonimu terus bekerja membuat madu 'kan?" Kupi menyodorkan bunga yang sudah ia pastikan mengandung banyak nektar. Namun, Apis kembali menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu, madu hasil kerja kalian itu bermanfaat banyak untuk manusia. Sementara aku? Apa yang aku hasilkan setelah aku mati? Tidak ada!" lanjut Kupi.
"Apakah kamu mau hidup seperti aku? Yang cantik, disukai banyak makhluk, tapi ...." Kupi tidak melanjutkan kalimatnya.
Apis terdiam, ia baru menyadari kalau selama ini ia hanya mengeluhkan satu hal, tidak disukai karena penampilannya yang tidak secantik Kupi si kupu-kupu. Namun, ia lupa, bahwa di dalam dirinya sudah memiliki begitu banyak hal yang hebat sebagai makhluk Tuhan.
"Kupi, terima kasih ...," kata Apis dengan suara lemah sambil menundukan kepalanya.
"Hmmm ...?" Kupi menoleh ke arah Apis.
"Terima kasih sudah mengingatkanku untuk bersyukur, aku juga tidak seburuk yang aku kira," ucap Apis dengan mata berkaca-kaca. Betapa malunya ia terhadap Kupi. Kupi yang memiliki banyak kekurangan dibandingkan dirinya, tapi, tidak sedikitpun mengeluh, malah Kupi bahagia dengan hidupnya.
"Hehehe, sama-sama, Apis." Kupi memeluk Apis.