Masyarakat sering bertanya kemana keadilan itu? Pertanyaan ini selalu dijawah pemerintah/aparatur hukum dengan argumentasi-argumentasi prosedural hukum. Jawaban seperti ini, pada hakikatnya mencerminkan ketidaksadaran aparatur hukum bahwa jawaban seperti ini merupakan ekspresi ketidaktahuan hukum (ignorantia juris), dimana hukum telah mensubversi keadilan. Realita keadilan inilah yang membuat makna keadilan menjadi hilang dalam perjalanan hukum bangsa ini. Pada lapisan horizontal, anarkisme sosial menjadi potret keseharian hukum. Kekecewaan pada potret penegakan hukum pada lapisan elit yang berseberangan dengan perlakuannya (unequal treatment). Eksklusifisme bagi elit yang melanggar hukum menjadi stimulan kekecewaan masyarakat.
Keadilan pada bangsa ini telah menjadi sesuatu yang langka, sementara Negara belum mampu memberi jaminan lahirnya peraturan perundang-undangan yang memiliki roh keadilan serta tegaknya hukum yang berlandaskan pada keadilan. Makna keadilan seolah-olah tereliminasi oleh penegakan hukum, karena konsep hukum yang adil demokratis belum menjadi sebuah realita yang dapat memberikan jaminan bahwa hukum mampu memberi solusi yang adil bagi masyarakat dan bangsa.
Olehnya itu, MK harus berani meninggalkan ketentuan syarat 2% pengajuan sengketa pilkada. Sebab ketentuan tersebut, telah menghalalkan praktik kecurangan ditingkat lokal. Diera mahfud Pada kasus sengketa Pemilukada Jawa Timur, dalam pokok permohonannya, Pemohon (Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono) mendalilkan terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam perhitungan suara yang terjadi di 26 kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur. Meski dalam tuntutan yang diajukan, Pemohon meminta agar MK menyatakan tidak sah dan batal demi hukum Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 bertanggal 11 November 2008 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Putaran II, atau setidaktidaknya menyatakan tidak sah dan batal demi hukum hasil perhitungan suara di tiga kabupaten saja, yaitu Kabupaten Pamengkasan, Probolinggo, dan Banyuwangi saja. Meski saat itu tidak ada dasar hukum perintah melakukan PSU (pemungutan suara ulang), MK tidak terpasung hukum positif, pilkada gubernur & wakil gubernur diperintahkan untuk diulang. Inilah putusan MK yang hingga saat ini dikenang sebagai putusan yang progresif.
Nur Adinda Syahrir
Mahasiswa FH UAD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H