Mohon tunggu...
Nur Adinda Syahrir
Nur Adinda Syahrir Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis

Mahasiswa Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Putusan Progresif MK dalam Sengketa Pilkada

23 Desember 2020   13:00 Diperbarui: 23 Desember 2020   13:11 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar pilkada (jawapos.com)

Masyarakat sering bertanya kemana keadilan itu? Pertanyaan ini selalu dijawah pemerintah/aparatur hukum dengan argumentasi-argumentasi prosedural hukum. Jawaban seperti ini, pada hakikatnya mencerminkan ketidaksadaran aparatur hukum bahwa jawaban seperti ini merupakan ekspresi ketidaktahuan hukum (ignorantia juris), dimana hukum telah mensubversi keadilan. Realita keadilan inilah yang membuat makna keadilan menjadi hilang dalam perjalanan hukum bangsa ini. Pada lapisan horizontal, anarkisme sosial menjadi potret keseharian hukum. Kekecewaan pada potret penegakan hukum pada lapisan elit yang berseberangan dengan perlakuannya (unequal treatment). Eksklusifisme bagi elit yang melanggar hukum menjadi stimulan kekecewaan masyarakat.

Keadilan pada bangsa ini telah menjadi sesuatu yang langka, sementara Negara belum mampu memberi jaminan lahirnya peraturan perundang-undangan yang memiliki roh keadilan serta tegaknya hukum yang berlandaskan pada keadilan. Makna keadilan seolah-olah tereliminasi oleh penegakan hukum, karena konsep hukum yang adil demokratis belum menjadi sebuah realita yang dapat memberikan jaminan bahwa hukum mampu memberi solusi yang adil bagi masyarakat dan bangsa.

Olehnya itu, MK harus berani meninggalkan ketentuan syarat 2% pengajuan sengketa pilkada. Sebab ketentuan tersebut, telah menghalalkan praktik kecurangan ditingkat lokal. Diera mahfud Pada kasus sengketa Pemilukada Jawa Timur, dalam pokok permohonannya, Pemohon (Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono) mendalilkan terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam perhitungan suara yang terjadi di 26 kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur. Meski dalam tuntutan yang diajukan, Pemohon meminta agar MK menyatakan tidak sah dan batal demi hukum Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 bertanggal 11 November 2008 tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Putaran II, atau setidaktidaknya menyatakan tidak sah dan batal demi hukum hasil perhitungan suara di tiga kabupaten saja, yaitu Kabupaten Pamengkasan, Probolinggo, dan Banyuwangi saja. Meski saat itu tidak ada dasar hukum perintah melakukan PSU (pemungutan suara ulang), MK tidak terpasung hukum positif, pilkada gubernur & wakil gubernur diperintahkan untuk diulang. Inilah putusan MK yang hingga saat ini dikenang sebagai putusan yang progresif.

Nur Adinda Syahrir

Mahasiswa FH UAD

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun