Pemilihan kepala daerah (pilkada) telah selesai, pleno penetapan peraih suara terbanyak hampir rampung secara keseluruhan di wilayah provinisi, kabupaten/kota. Namun persoalan justru belum selesai, perihal pihak yang merasa terjadi kecurangan saat tahapan pilkada (hasil akhir). Ada yang mempersoalkan kecurangan penyelenggara pemilu, ada juga yang mempersoalkan bahwa pilkada dilakukan dengan kejahatan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Hampir disetiap pilkada di Indonesia slalu diakhiri dengan gugatan ke lembaga yudisial. Mahkamah konstitusi (MK) menjadi alternatif terakhir para pencari keadilan (justice seker) untuk memperoleh keadilan konstitusional.
Persoalan klasik ini terus berulang, seperti tidak ada solusi yang mampu dilahirkan. Sebuah pernyataan awam yang kerap kali didengarkan “kecurangan di pilkada tidak dapat terhindarkan” pernyataan ini bukan tanpa alasan, sebab sejak memperoleh pintu untuk dapat diusung partai politik, maka deal-deal mahar politik menjadi suatu hal yang lazim. hingga saat tahapan (termasuk pencoblosan) dalam pilkada, kecurangan masih saja terjadi. alhasil gugatan di MK tidak dapat terhindarkan. Lebih parahnya lagi, pembentuk Undang-Undang membuat ambang batas selisih suara syarat mengajukan gugatan di MK. MK sebagai lembaga the guardian of constitution atau sebagai penjaga konstitusi, penjaga azas luber jurdil yang di tuliskan dalam konstitusi kita, malah mendukung syarat 2% tersebut. Padahal MK bisa saja mengeluarkan putusan yang progresif, melampau Undang-Undang (ultra petita) yang menentukan syarat pengajuan sengketa pilkada 2%.
Persoalan Klasik
Alasan efisiensi agar sengketa di MK tidak terlalu padat dengan gugatan pilkada hakikatnya bukan merupakan persoalan hukum. itulah tugas lembaga peradilan, dibiayai APBN dan diberi fasilitas sebagai pejabat negara tujuannya adalah untuk melaksanakan amanah semaksimal mungkin. MK tidaklah mengadili persoalan administrasi, member syarat 2% pengajuan gugatan dalam sengketa pilkada membuat pertanyaan bagi orang yang belajar hukum tata negara, bukankah MK mengadili keadilan subtansial?, yang membedakan MK dengan peradilan perdata selain obyek yang diadili, MK mengadili keadilan subtansial bukan procedural belaka.
Ambang batas pengajuan sengketa pilkada (Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada) mensyaratkan dua persen selisih suara jika akan mengajukan gugatan di MK. Pertanyaannya ada dua calon bernama A dan B. A memperoleh suara 45% B memperoleh 55%, ternyata setelah dilakukan kajian ternyata calon bernama B memperoleh suara tersebut untuk sekitar 20% diperoleh dengan cara melakukan money politic (membuat B unggul). Secara logika presentasi 20% tersebut sangatlah mempengaruhi perolehan suara A. karena dari perbuatan money politic tersebut menyebabkan proses pemilihan menjadi tidak sehat, menyebabkan kekalahan pada calon bernama A. tapi karena selisih bukan 2%, maka calon bernama A tidak dapat mengajukan gugatan di MK. Jika hal tersebut terjadi pertanyaannya, apakah MK kemudian akan melakukan pembiaran pelanggaran pilkada yang terus terjadi?.
MK harus berani keluar dari pasung hukum positif (Undang-Undang). Sebab aturan ambang batas demikian dapat menabrak kaedah etika dan moral konstitusi (Luber jurdil). Mahkamah konstitusi adalah penjaga demokrasi, yang merawat kualitas pilkada. Bagaimana mungkin kita membiarkan praktik kecurangan terjadi dengan dalih dua persen. Maukah kita dicap sebagai negara hukum setengah hati. Harusnya bukan selisihnya yang menjadi fokus utama, namun bagaimana melahirkan suatu proses pesta demokrasi lokal yang menjunjung tinggi integritas dan kredibilitas. Sebab kita sedang mencari pemimpin yang diperoleh dari cara-cara yang halal, sah dan konstitusional.
Prinsipnya pilkada dilaksanakan dengan fair tanpa kecurangan dan diskriminasi perlakuan. Sebagaimana dituliskan secara eksplisit dalam pasal 22 E UUD 1945 “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia (luber), jujur, dan adil (Jurdi)l setiap lima tahun sekali”. Makna langsung, masyarakat yang menentukan (mencoblos) calon kepala daerah tanpa melalui DPRD. Makna umum, pilkada dilangsungkan dengan mengdepankan partisipasi masyarakat secara terbuka untuk memilih maupun dipilih. Makna jujur, proses tahapan pilkada tidak boleh dilakukan jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Makna adil, semua warga negara diperlakukan sama untuk dilayani hak pilihnya. Semua calon diperlakukan sama tidak ada pengistimewaan pasangan calon.
Prinsip ini merupakan azas hukum pemilu yang harus dijunjung tinggi, tujuannya adalah agar pilkada melahirkan kader kepemimpinan terbaik. Skaligus Menegaskan bahwa Pilkada tidak hanya menjadi formalitas pelaksanaan kedaulatan rakyat belaka.
Menanti Putusan progresif MK
Setelah eksis selama hampir satu dekade Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai pelopor penegakan hukum progresif, terutama terkait putusan-putusan yang dikeluarkan dalam permohonan sengketa pilkada. Dalam konteks pemikiran hukum progresif judicial review di Mahkamah Konstitusi merupakan upaya menjadikan hukum mengabdi kepada manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiannya, bukan untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, hukum selalu berada pada status “law in the making”.
Supremasi hukum yang menggema dimana-mana ternyata hanyalah gagasan manipulatif dalam wujud mengkultuskan undang-undang yang berdalilkan kepastian. Paradigma demikian merupakan titik awal munculnya berbagai persoalan hukum. Sekalipun pemikiran seperti ini tidak salah, namun bukanlah berarti absolut kebenarannya. Undang-undang memang harus diposisikan sebagai instrument yang harus ditegakkan sebagai konsensus sosial (“namun dalam banyak hal undang-undang tidak lebih dari manipulasi hukum”) bahkan lebih dari “new imperium” bagi manusia dan kemanusiaan. Kondisi undang-undang seperti itu, juga diakui Mahfud MD dengan ungkapan bahwa “dalam menggunakan hukum progresif, seorang hakim harus berani mencari dan memberikan keadilan dengan mendeponir undang-undang karena tak selamanya undang-undang bersifat adil”.