Tahun pemilihan umum (pemilu) akan segera tiba. Proses penentuan calon presiden dan wakil presiden (Capres-cawapres) sedang berlangsung. Suasana pun semakin memanas selaras dengan panasnya bumi.
Alasan Mendekati Ulama
Beberapa kali periode pemilu, terlihat bakal capres-cawapres banyak yang merapat kepada para ulama dan kyai bahkan pendeta agama ketika menjelang pemilu. Bahkan tak hanya capres-cawapres saja, banyak pula para calon legislatif dan eksekutif daerah yang ikut pula merapat kepada ulama. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan bahwa mereka dekat dengan para ulama ataupun tokoh agama lainnya.
Mengapa Demikian?
Menurut hemat penulis, hal ini dikarenakan terdapat dua faktor yang menjadikan capres-cawapres maupun calon legislatif dan eksekutif lainnya sowan ulama, yaitu (a) ingin menyerap pemilih dari para pengikut ulama tersebut atau (b) ingin mendapatkan doa restu serta keberkahan dari ulama tersebut.
Menyerap Pemilih
Seorang ulama memiliki pengaruh yang besar terhadap umat yang ada di bawah bimbingannya. Bagaimana pun seseorang yang mengaku menjadi seorang murid (baca: santri) dari seorang ulama, sudah selayaknya mengikuti jejak gurunya dalam segala aspek kehidupan. Bahkan banyak dijumpai dalam hal memilih pemimpin pemerintahan.
Hal ini tak lain dan tak bukan adalah karena, para santri  memegang prinsip bahwa manut kepada guru (baca: ulama/kyai) adalah hal yang perlu bahkan wajib.
Dalam hal masalah pemilu, para santri (baik yang masih di pondok maupun alumni) yakin bahwa gurunya pasti lebih mengetahui mana calon pemimpin yang baik dan mana calon pemimpin yang kurang baik.Â
Santri iku Manut Kyai
Santri menyakini bahwa gurunya adalah orang yang lebih memahami permasalahan hidup secara mendalam. bahkan meskipun terkadang keputusan seorang guru dianggap ambigu. Tapi seorang santri akan selalu yakin bahwa kyainya punya cara pandang baik yang belum tentu si santri tahu. Alhasil, tidak sedikit santri yang memilih calon pemimpin mengikuti pilihan gurunya.
Hal itu juga berlaku bagi saya sebagai santri. Jika saya mau memilih Presiden nantinya, saya juga akan mengikuti pilihan guru saya. Karena bagaimanapun saya yakin, bahwa guru saya dengan pemahaman ilmu dan kehidupan yang lebih baik tentu lebih mengetahui calon Presiden yang lebih baik.
Mungkin, ada sebagian golongan yang mengganggap kami para santri orang yang bodoh atau males mikir gegara milih Presiden wae angger melu-melu (asal ikutan).Â
Eits, jangan salah. Kami mengikuti pilihan guru kami bukan berarti kita tidak berpikir. Justru akhirnya kita berpikir kenapa guru kita memilih calon tersebut? Dan tak jarang akhirnya kita akan berusaha lebih mengenal tentang calon tersebut.
Hal seperti itulah yang mungkin membuat banyak calon baik calon legislatif maupun eksekutif yang mendekati ulama menjelang pemilu. Meskipun sejatinya seorang guru juga tidak mewajibkan santrinya untuk memilih sama dengan pilihan gurunya. Akan tetapi santri secara sadar dan menurut kehendak sendirilah jika memilih sama dengan pilihan gurunya.
Mencari Doa, Restu, dan Berkah
Bagi orang yang beragama, agama apapun pasti menyakini konsep keberkahan. Banyak sekali orang yang mencari keberkahan agar hidupnya lebih baik.
Keberkahan sendiri berasal dari kata dasar berkah, yang merupakan serapan dari kata dalam Bahasa Arab
Berkah dalam konsep Isl diartikan sebagai ziyadatul khoir (bertambahnya kebaikan).  Dalam hal ini misalkan kita meminta berkah dari seorang ulama, maka kita berharap dengan mendapatkan  berkah dari ulama, bertambahlah kebaikan yang kita dapatkan nantinya.
Bagi capres-cawapres maupun calon legislatif dan eksekutif lainnya yang meyakini konsep berkah inilah yang akhirnya menjadikan mereka merapat kepada ulama.Â
Mereka menyakini dengan mendapatkan doa restu dan berkah dari ulama tersebut dapat memberikan bertambahnya kebaikan yang akan ia peroleh. Dalam hal pemilu, hal tersebut juga berarti bertambahnya jumlah pemilih yang akan memilihnya.
Akan tetapi, pada hakikatnya jika ada seorang yang mencalonkan diri dalam pemilu kemudian secara tulus ikhlas ia sowan ulama (tanpa harus dipublikasikan) karena ia murni ingin mendapatkan berkah ulama tersebut. Kok setelah itu, dia tidak terpilih, berarti hal tersebut bisa jadi menunjukkan bahwa tidak menjadi legislatif maupun eksekutif adalah yang terbaik baginya.
Bisa jadi, ketika ia jadi legislatif maupun eksekutif nantinya banyak kejahatan atau dosa yang akan menghampirinya. Mulai dari korupsi, kebijakan yang salah, mendzolimi rakyat dan lain sebagainya.
Demikian tadi, alasan kenapa capres-cawapres maupun calon legislatif dan eksekutif lainnya merapat kepada ulama jelang pemilu. Silahkan kalian bisa menilai apakah mereka merapat karena faktor pertama atau merapat karena faktor kedua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI