Mohon tunggu...
Nur Laila Sofiatun
Nur Laila Sofiatun Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Perempuan yang ingin bermanfaat bagi keluarga, agama, bangsa dan negara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siapa Bilang Anakku Tak Normal?

5 Agustus 2022   11:11 Diperbarui: 6 Agustus 2022   01:30 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mba, anakke Rika beda karo kanca-kancane. Tok saranna mending Andi disekolahna nang SLB bae."

"Ora lah, anakku normal kok. Ora meh tok sekolahna nang SLB. Nang sekolah umum bae pada karo kanca-kancane"

(Mba, anakmu berbeda dengan teman-temannya. Saya sarankan sebaiknya Andi  (bukan nama asli) disekolahkan di SLB saja)

(Ga lah, anakku normal kok. Tidak akan saya sekolahkan di SLB. Di sekolah umum saja sama dengan teman-temannya.)

Percakapan itu aku dapati dari obrolan tetangga di kampung. Kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya. Tak sekali dua kali percakapan itu terjadi. Tapi Mba Ani (bukan nama asli) tetap tidak mau menyekolahkan putranya di Sekolah Luar Biasa (SLB). Entah apa alasannya, tapi mungkin rasa malu memiliki anak yang berbeda menjadi faktor utama.

Dengan keterbatasan yang Andi miliki, kini akhirnya ia tidak sekolah. Kegiatannya hanya kluntang-kluntung dengan sepeda motornya setiap hari. Dilihat sekilas tidak ada yang berbeda dari penampilannya. Seperti remaja seusianya, ia suka bermain dan berkumpul di perempatan jalan untuk tongkrongan.

Sebenarnya sejak kecil, Andi sudah terlihat berbeda dengan teman-temannya. Ia mengalami pertumbuhan yang lambat. Usia 2 tahun ia baru mulai bisa bicara dan berjalan. Sedangkan batita lainnya biasanya di usia 1 tahun mereka sudah mulai bisa berbicara dan berjalan.

Seiring dengan perkembangan usianya, Andi bisa berbicara akan tetapi tidak sejelas ucapan teman-teman di usianya. Saat memasuki usia sekolah, ibunya tetap menyekolahkan Andi di sekolah umum. Akan tetapi, bagaimanapun karena berbeda Andi tidak bisa mengikuti pembelajaran yang di adakan di sekolahnya.

Beberapa guru dan rekan maupun tetangga memberikan saran kepada Bu Ani untuk menyekolahkan Andi di SLB saja. Akan tetapi, banyaknya saran dan masukan tak Bu Ani dengarkan. Hingga akhirnya Andi hanya menamatkan sekolah jenjang sekolah dasar saja. Seandainya Andi dimasukkan ke SLB yang memahami situasi yang Andi miliki, kemungkinan besar ia masih bersekolah saat ini.

Kejadian Andi dialami Andi tidak hanya ditemui di kampung saya. Di kampung-kampung lain pun, saya yakin banyak kejadian seperti itu. Hal ini dikarenakan anak berkebutuhan khusus (abk) masih belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Baik tentang apa itu abk dan bagiamana menangani anak abk agar ia bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhannya. 

Penyebab Sedikit Orangtua yang Mau Memasukkan Anaknya ke SLB

Hemat saya, melihat sedikitnya orang tua yang mau menyekolahkan anaknya di SLB dikarenakan beberapa hal sebagai berikut:

1. Gengsi Orangtua

Bagi sebagian orang memiliki anak berkebutuhan khusus adalah sebuah aib/sesuatu yang harus disembunyikan. Karena, mereka beranggapan bahwa memiliki abk akan mengakibatkan mereka dianggap orang tua yang gagal. Sehingga mereka malu jika orang-orang tahu bahwa anaknya adalah ABK.

2. Minim Pengetahuan tentang ABK dan SLB

Pengetahuan atau informasi tentang ABK dan bagaimana pola asuh yang benar masih sangat minim. Hal ini dikarenakan pemerintah tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat. Jadi, sebagian orangtua tidak tahu bagaimana caranya mendidik ABK yang sesuai agar tumbuh kembangnya tidak terhambat.

Selain info tentang ABK, info tentang adanya SLB di masyarakat juga masih minim. Bahkan saya sendiri baru tahu kalau di kabupaten saya ada SLB, setelah diceritakan oleh guru madrasah saya yang anaknya bersekolah di SLB. Sedangkan sebagian besar warga kampung ku tidak ada yang tahu.

Seharusnya pemerintah memberikan informasi kepada masyarakat yang memadai. Informasi bisa diberikan melalui posyandu, pertemuan walimurid di sekolah, perkumpulan ibu-ibu PKK dan perkumpulan lainnya.

3. Biaya sekolah SLB Mahal

Selain minim info, untuk sekolah di SLB juga dibutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan sekolah umum. Hal ini menjadikan orang tua keberatan jika menyekolahkan anaknya di SLB. 

4. Jarak SLB dengan Tempat Tinggal Jauh

Jumlah SLB saat ini masih sangat minim. Di kabupaten Banjarnegara sendiri, tempat saya tinggal, baru ada tiga SLB, dua SLB negeri dan satu SLB swasta. Dikarenakan jumlah SLB sedikit, sedikit ada dua puluh (20) kecamatan di Banjarnegara tentu menjadikan sebagian besar masyarakat memilih jarak tempuh yang jauh jika mau menyekolahkan anaknya di SLB. Hal ini pun menjadi alasan bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya di SLB. 

Permasalahan-permasalahan yang terjadi di atas sebenarnya sudah pemerintah carikan solusinya dengan mengadakan sekolah inklusi. Akan tetapi, apakah sekolah inklusi sudah bisa menjadi solusi untuk memberikan pendidikan yang sesuai bagi ABK?

(Tulisan tentang plus minus sekolah inklusi akan saya bahas di tulisan saya lainnya). 


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun