Semula saya mengira ini bukan black campaign, namun ternyata.. masalahnya akan lebih rumit dari apa yang saya kira.
PAGI itu, saya sedang berkendara dengan motor Vario 2008, yang baru saya beli 2 hari kemarin, setengah pakai tentunya. Double starter masih jring, BPKB asli, pajak jalan. Saya nggak suka umpetan dengan polantas, biar bisa jadi ojek Maxim sekaligus warga Semarang yang cinta kota ini.
Saya nggak suka predikat "wong cilik". Intinya, saya kerja, jadi ojek, kalau sore jemput anak les privat di Sampangan, Semarang. Saya lewat wilayah Jalan Semeru, Candisari, Kota Semarang. Â
Sore itu, langit cerah dan jalanan cukup ramai, seperti hari-hari biasa. Ada sesuatu yang menarik perhatian saya. Sebuah spanduk besar dengan tulisan dalam bahasa Jawa: "Wis Wayahe Ganti Pimpinan Kota Semarang Sing Iso Ngewongke Wong". Artinya, "Sudah saatnya Kota Semarang terjadi pergantian pemimpin yang bisa memanusiakan orang lain, memperlakukan orang lain dengan baik." Ada juga yang bertulis "Masyarakat Kota Semarang Mencari Pemimpin Yg Amanah, Orak Nangisan Opo Meneh Menjilat Ludah Sendiri".
Tak ada nama calon atau lambang partai yang tertera, hanya tulisan "Wong Cilik Kota Semarang" dan "Warga Peduli Kota Semarang".
Tentu saja itu bukan lembaga. "Rak jelas ik!" kalau orang Semarang berseru. Spanduk ini anonim dan statusnya belum jelas. Warga sekitar pun tampaknya tak tahu siapa yang memasangnya. Kalau buatan orang bertanggung jawab, ada tulisan: dari partai apa, atau lembaga mana. Kemudian, setelah mendengarkan anak saya yang kesulitan mengerjakan matematika, saya berpikir, "Siapa yang pasang spanduk itu?"
Black Campaign atau Bukan, Itu Pertanyaannya
Bicara soal spanduk anonim ini, yang pertama kali melintas di benak saya adalah "Black campaign atau bukan, ya?" Mengingat belum masuk musim kampanye resmi Pilwakot dan belum ada penetapan calon, spanduk seperti ini bisa dikategorikan sebagai kampanye hitam jika bertujuan menyudutkan petahana atau calon tertentu. Namun, tanpa ada nama atau indikasi spesifik, sulit untuk mengklaim bahwa ini adalah black campaign. Pesannya lebih bersifat umum dan bisa ditangkap sebagai seruan perubahan. Jadi, apakah ini black campaign? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Seperti memilih antara bakso dan mie ayam, sulit diputuskan.
Tapi sebagai pertanyaan tambahan, yang agak waras, coba kita tanyakan ke sebelah kita. "Kenapa dipasang di jalan, menjelang Pilwakot Semarang, dan nggak sebut nama? Terus kuwi maksude ngomong ngono piye?"
Strategi Awal Bakal Calon: Begini Caranya?
Kemudian, saya berpikir, "Wah, jangan-jangan ini strategi awal dari salah satu bakal calon." Kalau iya, maka ini bisa jadi cara mereka untuk mengukur sentimen masyarakat. Baliho dengan pesan umum seperti ini bisa digunakan untuk menciptakan buzz dan menarik perhatian masyarakat sebelum kampanye resmi dimulai. Namun, cara ini bisa dianggap tidak etis karena memanfaatkan celah dalam aturan kampanye yang belum resmi. Ini seperti mencoba mencicipi kue sebelum acara ulang tahun dimulai---rasanya enak, tapi tidak sopan.
Pihak Luar: Agenda Terselubung di Balik Baliho?