Mohon tunggu...
Nur karimah
Nur karimah Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Yaa begitulah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Di Balik Lenyapnya "Rasa Ingin Tahu" Mahasiswa

12 Desember 2019   09:06 Diperbarui: 14 Desember 2019   16:25 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebosanan menjadi sesuatu yang lumrah dirasakan oleh mahasiswa pada masa perkuliahan. Terkadang, metode mengajar dosen menjadi salah satu alasan yang dikeluhkan banyak mahasiswa. 

Akibatnya para mahasiswa menjadi tidak aktif dan antusias di kelas saat proses belajar mengajar serta lenyapnya 'rasa ingin tahu' pada diri mahasiswa.

Hal-hal yang dijejali ke dalam kepala mahasiswa hanya gagasan yang "siap pakai" di mana pengetahuan diterima. Di sini, cara berpikir kritis tidak dikembangkan secara maksimal. 

Usaha untuk berpikir menjadi sebuah kegiatan yang tidak menarik ntuk dilakukan. Bahkan terkadang masih ada sebagian dosen yang mahasiswanya diminta untuk menghafal serangkaian teori dan data yang kerapkali tak ada kaitan dengan kebutuhan mahasiswa.

Kasus seperti ini memang masih banyak terjadi di berbagai perguruan tinggi, hanya saja ini saya yang masih berstatus mahasiswa baru mencoba untuk mengungkapkan pengalaman pribadi saya bersama teman-teman di kampus. 

Menghadapi kasus demikian, saya dan sebagain teman-teman mengungkapkan protes, tapi lama-kelamaan juga menemui titik jenuh.

Ada banyak aspirasi yang disampaikan, namun tak sampai kepada mereka yang berhak menindak lanjuti. Wadah untuk menyampaikan aspirasi memang telah tersedia, hanya saja tindak lanjutnya sebatas basa-basi yang disampaikan kepada kami dan dibumbui dengan kalimat penenang.

Kadang terbesit ingin melakukan perubahan namun lebih memilih diam "mengikuti arus". 

Sebenarnya siapa yang tidak peduli, mahasiswa atau mereka yang mempunyai kewenangan akan hal ini? Kalau ingin melakukan perubahan jangan tunduk terhadap kenyataan. Asalkan kita yakin di jalan yang benar, maka lanjutkan!

Di beberapa kampus yang lain juga mengalami kasus yang serupa terkait problem mahasiswa dan dosennya. 

Para dosen hanya melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawab secara formalitas menyampaikan materi, namun tidak melihat kami mahasiswa yang merasa dirugikan akan minimnya perolehan ilmu dan waktu kuliah yang sering kosong tanpa jadwal pengganti.

Pernah salah satu dosen saya berkata "mahasiswa yang cerdas itu tergantung dosennya". Bagaimana menurut kalian akan pendapat itu? Ada banyak metode mengajar yang sebenarnya jauh lebih menarik untuk diaplikasikan  agar keaktifan dikelas bisa terjaga. 

Namun sayangnya, beberapa dosen yang saya temui tidak menyadari akan hal itu. Menanggapi kasus seperti ini, beberapa teman saya turut memberikan komentar, "Ya itu kembali lagi, menurut saya materi tergantung dari mahasiswanya masing-masing menyikapinya seperti apa. 

Kalau saya sih masuk-masuk aja ya walaupun ada juga orang yang tidak paham, untuk menjaga juga kalau dosen tanyain sudah paham atau belum, sebenarnya mungkin ada yang tidak paham", tutur Rafli.

Mengenai pendapat di atas bagaimana menurut kalian, lagi-lagi mahasiswa menjaga perasaan dosen tersebut agar tidak ada masalah. 

Sebentar! Bukankah cara mengajar dosen yang monoton dan hanya berpatokan pada power point, apakah itu tidak disebut dengan masalah? Sebenarnya siapa yang bermasalah ketika apa yang disampaikan oleh dosen tidak mampu dipahami dan ketika ditanya tidak ada titik temu di antara keduanya.

Sebagian mahasiswa juga ada yang mengatakan demikian "cara mengajar dosen itu kurang sesuai dengan RPS seharusnya dan lebih suka bercerita tentang pengalaman hidupnya yang tidak penting sama sekali, sehingga saya pun tidak dapat menyerap atau mencerna  matakuliah tersebut", ungkap Karin.

Saya kira tidak masalah jika dikomentari karena itu akan menjadi sebuah evaluasi pembelajaran untuk ke depannya agar tidak mengulangi kekeliaruan yang sama. 

Namun, apabila kritik ini tidak diterima, maka kalau nantinya para mahasiswa semakin tidak tertarik mengikuti perkuliahan, bahkan bisa saja terjadi mogok belajar sampai apa yang disampaikan bisa diterima dan segera ditindak lanjuti.

Sebagai negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, semua orang tentu bebas menyampaikan aspirasi mereka, termasuk dalam kelas. 

Memberikan perbandingan antara dosen satu dengan lain bisa menjadi tolak ukur baru untuk dosen yang memang tidak memenuhi standar kompetensi dalam hal mengajar.

sumber: transbojonegoro.com
sumber: transbojonegoro.com
Disisi lain, membandingkan metode mengajar setiap dosen kadang menjadi sebuah akitivitas yang menyenangkan. Di pojok-pojok kampus menjadi tempat hangat untuk bercerita mengenai hal itu. 

Terkadang juga ada beberapa dosen yang menjelaskan menggunakan bahasa daerahnya. Ini juga menjadi salah satu kendala.

"Di kelas itu kan kita berbeda-beda, ada banyak mahasiswa yang dari luar Jawa, ada yang dari NTT, Sulawesi, Kalimantan, Papua dan lain-lain. Dosen kadang menjelaskan materi dengan bahasa Jawa, nah kami orang Timur tidak paham apa yang disampaikan walaupun di sisi lain kami dituntut harus menyesuaikan diri tapi menyesuaikan diri tidak bisa langsung dengan cepat, ada prosesnya", kata Aleks.

Seperti yang kita ketahui, dalam komunikasi sehari-hari kita selalu menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi. Bahkan di Indonesia ada 742 bahasa yang dimiliki masing-masing daerah di seluruh pelosok negeri. 

Bayangkan saja jika di sebuah kelas seorang pengajar dengan menggunakan bahasa Sulawesi, pertanyaannya apakah orang Jawa, Kalimantan, Aceh, itu mengerti apa yang sedang dibicarakan?

Tentu tidak. Jadi, sudah seharusnya bijak juga dalam menggunakan bahasa yang memang dimengerti oleh semua mahasiswa yaitu, Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan agar tidak ada sekat di dalam kelas.

Ada banyak harapan yang dilontarkan mahasiswa, "Ya harapannya bisa lebih lagi mendidik mahasiswanya lebih baik, sukses lagi kedepannya, terus berbenah yang kurang-kurang pokoknya the best lah untuk dosen-dosen", tutup Rafli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun