"Kamu ini ya, rumah dekat dengan sekolah, tapi tiap hari terlambat" bentakan seorang guru piket, pak Agus di pintu gerbang sekolah menggelegar kepadaku.
Saat itu, aku hanya menunduk lesu dan mungkin wajahku terlihat menunjukkan mau nangis tetapi ditahan. Saat itu, guru pembimbingku ada disitu juga, melihat aku yang terlambat lagi dan sudah berapa kali aku dipoin akibat keterlambatan ini. Â
Dengan lembut dan sabar dia berkata "kamu kenapa Tito, terlambat lagi-terlambat lagi...nanti istirahat ke satu ketemu ibu ya"
"Baik" jawabku (kemudian aku langsung cepat-cepat lari masuk menuju kelas)
Aku biasa dipanggil Tito, aku memilih salah satu SMA yang dekat dengan tempat tinggal agar bisa mengantarkanku menggapai masa depan yang lebih baik dari orang tuaku, yang seperti saya impi-impikan selama ini.
Aku bukan anak orang kaya, bahkan rumahku juga masih berpagar bambu yang pada saat itu rumah tetangga-tetangga sudah berbeton semua. Hampir dalam setiap minggunya aku terlambat, padahal aku sudah berusaha untuk bangun pagi dan mengurus adik bungsuku, tetapi kadang anak kecil itu tidak pasti, kadang nurut kadang lagi susah diatur.
Aku adalah anak seorang petani, setiap hari, selepas subuh, ayahku selalu berangkat ke sawah, sehingga mau tidak mau aku yang mengurus adik yang masih kecil sebelum berangkat sekolah.
Kalian tanya dimana ibuku? Ibu...mungkin anak-anak lain seumuran ku akan dengan senangnya bercerita tentang ibunya...tetapi aku akan menahan tangis ketika orang lain menanyakan tentang ibuku. Diawal-awal aku tahu, bahwa ibu 'sakit', aku sangat syok dan down, membuatku menarik diri dari pergaulan teman-teman. Aku tetap sekolah, hanya sekedar sekolah, mengerjakan tugas-tugas, ikut kegiatan sekolah, tidak lebih dari itu, pulang sekolah ya aku tetap dirumah, tidak mau main dengan teman-teman seperti biasanya. Dulu, sebelum ibu sakit, biasanya sepulang sekolah aku lebih suka bermain dengan teman-teman atau teman-teman yang main kerumah, tetapi sekarang aku lebih suka sendiri.
Istirahat pertama, aku menemui guru pembimbing, setelah berbasa-basi, ngobrol santai, beliau berkata "Tito, ibu barusan berkunjung kerumahmu, dan...ibu tahu ini sulit bagi seorang anak seusia kamu dan adik-adikmu, tapi To...percayalah Allah SWT tidak akan menguji hambanya diluar kemammpuannya. Yakinlah, bahwa ibumu saat ini 'sakit', dirumahmu sendiri. Tito...kamu tahu...dirumahmu ada bidadari syurga, teruslah kau rawat ibumu, perlakukan beliau dengan baik, cium tangannya setiap kamu keluar rumah ya"
Saat itulah akhirnya tangisku sebagai anak laki-laki yang selalu ditahan saat ditanya "ibu" pecah tak terbendung. Aku menangis sejadi-jadinya, tetapi setelah ku selesai menangis, entah kenapa hati ku menjadi plong, seolah beban yang aku pikul selama ini menjadi ringan dan akhirnya bisa meluapkan semua yang aku rasakan ke guru pembimbing.
Dulu, aku adalah anak yang periang, punya banyak teman dan bisa bergaul bebas dengan siapa saja, tanpa ada rasa minder, dan menarik diri. Meskipun aku bukan dari keluarga yang berada, tetapi aku sama seperti anak-anak lain, ceria dan bebas bermain di kampung di masa kecil. Tetapi keceriaan itu berubah menjadi kemurungan, begitu ku mengetahui bahwa ibuku di fonis mengalami kepikunan dan gangguan jiwa.