PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA
KELOMPOK 6
Dilva Nahida (212121040), Nur Azkia Aulia Ilmi (212121044)
Fadila Mulyana Indah (212121057), Fathiya Ainan Salsabila (212121062), Aisya Rahmawati (212121074)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
dilvanahida2708@gmail.com, azkiaaulia907@gmail.com
fadilamulyana876@gmail.com, fathiyasalsabila985@gmail.com, aisyaisa273@gmail.com
Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Pada awalnya syari'at Islam baik dalam Al-Qur'an atau Sunnah tidak mengatur secara konkret tentang adanya pencatatan perkawinan. Namun dengan adanya tuntutan perkembangan zaman dan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan , hukum perdata islam di Indonesia perlu mengaturnya guna kepentingan kepastian hukum di dalam masyarakat.
Pada zaman Hindia Belanda, semua permasalahan yang menyangkut tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Huwelijksordonantie Staatsblad 1929 Nomor 348, Verstenlandsche Huwelijksordonantie Staatsblad 1933 Nomor 48 dan Huwelijksordonantie Buitengewesten Staatsblad 1932 Nomor 482.Â
Setelah Indonesia merdeka peraturan tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, Talak, dan Rujuk, tetapi peraturan tersebut hanya diberlakukan di daerah Jawa dan Madura. Sedangkan untuk daerah Sumatera diberlakukan Ketetapan Nomor 01/PDRI/KA tanggal 16 Juni 1949. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatan Nikah, Talak dan Rujuk, yang waktu itu hanya diberlakukan untuk Jawa dan Madura, mulai tanggal 26 Oktober 1954 diberlakukan untuk seluruh wilayah Nusantara.
Kemudian untuk pengganti Huwelijksordonantie Buitengewesten Staatsblad 1932 Nomor 482 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah; Talak dan Rujuk diseluruh daerah luar Jawa dan Madura.
- Adapun dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang:
- Tertib biaya perkawinan
- Memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status suami, istri, maupun anak
- Memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak yang timbul karena perkawinan.
Â
Perlunya Pencataan Perkawinan
Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan dan lain-lain.Â
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara
Makna Filosofis, Sosiologis, Religious, dan Yuridis Pencatatan Perkawinan
- Makna Filosofis
Dari segi filosofis, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan kejelasan hukum bagi semua pihak yang terlibat, serta bagi seluruh anggota masyarakat. Peneliti yang melakukan kajian filosofis tentang keabsahan hukum menyatakan bahwa tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada suami istri berupa jaminan, kekuatan, dan perlindungan hukum. Dengan kata lain, jika syarat-syarat pencatatan perkawinan tidak terpenuhi, maka arti hukumnya adalah tidak mempunyai kekuatan hukum dan akibatnya hak-hak keperdataan akibat perkawinan tidak terjamin.
- Makna Sosiologis
Perkawinan yang merupakan hubungan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita dalam hubungan suami istri diberi wewenang sanksi sosial dari segi sosiologis. Karena kedua individu telah berasimilasi ke dalam masyarakat dan penyatuan hubungan mereka dalam perkawinan telah mendapat persetujuan sosial, mereka tunduk pada sanksi masyarakat. Menurut tinjauan sosiologis, peranan pencatatan perkawinan sangat penting, khususnya bagi perempuan, dalam hal status anak dan hak waris, yaitu yang berkaitan dengan masalah harta benda dan hak bersama. status anak, hak perwalian, dan hak waris.
- Makna Yuridis
Karena hukum syariat agama dan keyakinan para pihak juga mempengaruhi keabsahan perkawinan, maka perkawinan merupakan perbuatan hukum sekaligus peristiwa hukum yang menyangkut nilai-nilai kerohanian. Secara yuridis, pencatatan perkawinan berfungsi sebagai pernyataan yang mengikat dari penyatuan dua orang sebagai suami istri. Pendaftaran ini memberikan status hukum kepada pasangan suami istri, termasuk hak dan kewajiban yang terkait dengan status perkawinan, seperti hak waris dan tanggung jawab orang tua terhadap anak, dan dilakukan oleh lembaga pemerintah yang disetujui, seperti Kantor Catatan Sipil.
- Makna Religius
Tujuan utama pernikahan dalam Islam adalah untuk melaksanakan perintah Allah. Umat Islam akan mendapatkan pahala dan kebahagiaan jika mereka menaati perintah Allah. Kegembiraan ini meliputi segala hal, termasuk makanan, sehingga menikah Muslim tidak perlu khawatir tentang hal itu.
Dalam lingkungan agama, pencatatan perkawinan pada umumnya dianggap penting karena dapat membantu memperdalam hubungan spiritual antara suami istri dengan Tuhan dan menunjukkan bahwa perkawinan telah dilakukan secara sah dan sah sesuai dengan keyakinan agama.
Â
Dampak Yang Terjadi Jika Pernikahan Tidak Dicatatkan Dari Perspektif Sosiologis, Religius, Dan Yuridis
Salah satu urgensi pencatatan pernikahan, yakni adanya perlindungan bagi ibu dan anak. Pihak yang akan sangat dirugikan dalam hal ini yakni sang ibu dan anak. Contohnya saja apabila sang anak sudah mulai masuk di bangku pendidikan maka ia akan membutuhkan akta kelahiran dan kartu keluarga. Selain itu anak tersebut tak akan mendapatkan harta warisan dan perlindungan hukum.
- Dampak Sosiologis
Dampak sosiologis bagi pasangan yang tidak mencatatkan perkawinannya di pencatatan sipil yakni tidak tercatatnya status anak yang lahir dari perkawinan tersebut, tidak dapat tercatat di akta kelahiran, urusan pendidikan formal/informal juga dipersulit. Selain itu bagi sang istri juga tidak dapat pengakuan.
- Dampak Religius
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum Islam telah tercantumkan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan secara legal dianggap tidak sah. Maka dari itu diperlukan informasi lebih mengenai pentingnya pencatatan perkawinan agar tercapai keluarga yang sakinah mawadah warahmah. MUI menyarankan dan menghimbau untuk melakukan pencatatan perkawinan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat mempersulit kehidupan di masa depan.
- Dampak Yuridis
Resiko yang muncul apabila perkawinan tidak dicatatkan akan  sangat merugikan dan tidak adil bagi anak karena mereka tidak akan medapatkan perlindungan hukum yang sah dan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Dampaknya yakni sang anak tidak memiliki hungan hukum dengan sang ayah dan hanya memiliki hubungan hukum dengan sang ibu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H