Mohon tunggu...
Dr. Nur hendrasto
Dr. Nur hendrasto Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Inkubator Bisnis Institut Tazkia

I'm a people and business development enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

PHK Startup: When the Disruptor Gets Disrupted?

21 November 2022   21:11 Diperbarui: 21 November 2022   21:21 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Sedang ramai diperbincangkan badai PHK yang saat ini sedang melanda industri di Indonesia, tidak terkecuali para startup. Di bulan September lalu, Shopee mengumumkan akan melakukan PHK untuk 3% karyawannya, beberapa startup dan platform digital lainnya seperti JD.ID, linkaja, Tanihub, dan Zenius juga dikabarkan telah melakukan langkah serupa (Kompas.com). 

Namun kegemparan baru terjadi di Indonesia saat GOTO mengumumkan akan melepas 12% dari total karyawannya di bulan November 2022 ini. Hal ini tentu saja selain GOTO adalah startup besutan anak bangsa, GOTO juga telah menjelma menjadi raksasa dan termasuk startup 20 besar dunia. Apa yang sebenarnya terjadi pada startup?

Fenomena global dampak dari pandemi

Banyak pakar dan Lembaga global yang Sudah menyampaikan kekhawatirannya terhadap kondisi ekonomi dunia. IMF misalnya memprediksi ekonomi global akan melambat di akhir 2022 ke titik 3,2% dan pada 2023 akan menjadi 2,7% setelah pada 2021 mencapai 6%. 

Hal ini juga diaminkan oleh worldbank, bahkan para pakar ekonomi di oxford memprediksi ekonomi global hanya akan tumbuh sebesar 1,3% pada tahun 2023. Ray Dalio, founder dari bridgewater dan juga tokoh investasi global, juga menambahkan prediksi akan adanya power shift seiring dengan akan berkurangnya pengaruh Amerika pada dunia.

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari pandemi yang sudah melanda dunia sejak awal 2020 yang telah menghancurkan rantai pasok global. Pulihnya permintaan seiring dengan pengurangan Batasan pandemi oleh pemerintah di negara-negara dunia, tidak bisa diimbangi oleh kemampuan produksi global yang masih terkendala bahan baku, biaya energi yang tinggi, dan juga kondisi stabilitas dunia akibat perang di Eropa. 

Selain itu kebijakan moneter global semasa pandemi, membuat uang berlimpah dan memicu terjadinya inflasi yang tinggi. Kondisi ekonomi yang berat ini juga terasa di negara-negara Eropa hingga memaksa Perdana Menteri Inggris Liz Truss mundur dari posisinya setelah menjabat hanya sekitar 7 minggu sejak dilantik.

Kondisi ekonomi ini juga diperkuat dengan adanya pengurangan karyawan di industri teknologi global. Meta perusahaan induk dari facebook milik Mark Zuckerberg, melakukan PHK massal ke 11.000 karyawannya di seluruh dunia atau setara dengan 13 % dari jumlah karyawannya. 

Amazon juga sudah mengumumkan rencananya untuk melakukan pengurangan setidaknya 10.000 karyawannya pada akhir tahun ini, dan banyak lagi big-tech companies lainnya melakukan hal serupa. Kondisi ini dialami oleh para startup besar dunia yang sudah berhasil mencetak laba. 

Facebook sepanjang 2021 berhasil mencetak laba sekitar 39,37 miliar USD atau setara dengan 505 triliun rupiah dan Amazon yg sedikit dibawanya dengan laba sebesar 33,36 miliar USD. Jika startup besar yang sudah mapan dan mencatatkan laba saja tetap melakukan pengurangan pegawai, bagaimana dengan Indonesia yang sebagian besar startup-nya masih fokus pada growth?

Jalan terjal startup Indonesia mencetak laba

Pertumbuhan fantastis valuasi startup terkadang membuat kita mengerenyitkan dahi dan bingung akan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan saat melakukan kalkulasi. Para pelaku investasi pun terbagi dua aliran, mereka yang optimis percaya akan potensi dan pertumbuhan bisnis para startup, mengamini angka besar tersebut. 

Namun sebagian yang konservatif (kalau tidak mau disebut pesimis), meragukan metode yang digunakan. Terlebih lagi saat melihat strategi umum yang digunakan para startup untuk bertumbuh adalah dengan metode "bakar uang" secara radikal. 

Mereka paham betul konsumen Indonesia yang "modis" (modal diskon) hanya akan tertarik bila mereka menyediakan diskon yang besar jika menggunakan platform mereka. Hal ini membuat para startup semakin kesulitan menciptakan margin yang memadai bagi bisnis mereka.

Selain itu, untuk memastikan startup ini memiliki fitur terbaru dan tercanggih, mereka melakukan ekspansi dengan merekrut software engineer dengan gaji yang fantastis. 

Seorang teman bahkan bercerita salah satu strategi yang digunakan oleh startup nya untuk merekrut digital talent adalah dengan memberikan insentif pada siapapun yang berhasil menarik software engineer bergabung ke startup tersebut,akan dapat dapat 10 juta rupiah. 

Ini belum termasuk gaji engineer tersebut dan segala fasilitas lain yang bisa ia nikmati. Aksi ugal-ugalan ini kemudian membuat kampus dan penyelenggara kompetensi digital, ikut menikmati cuan dari besarnya demand digital talent pada startup.

Bila kita lihat pada laporan keuangan Bukalapak (BUKA) yang telah melepas kepemilikan sahamnya ke publik sejak agustus 2021, kinerja keuangan BUKA hingga saat ini masih mencatatkan nilai negatif dan baru ditargetkan akan memiliki kinerja keuangan positif pada kuartal IV di 2023. Sejalan dengan BUKA, GOTO yang melantai di bursa sejak April 2022 juga belum berhasil mencatatkan kinerja positif. 

Pada 2021 GOTO merugi 22,53 triliun. Angka ini naik 35% dari tahun sebelumnya dimana kerugian pada 2020 mencapai 16,62 triliun. Tercatat biaya marketing, diluar direct benefit ke customer berupa diskon, mencapai dua kali lipat dari pendapat bersih yang didapat. Belum lagi biaya operasional lainnya yang juga sangat besar. 

Hal ini tentu saja mendapat sorotan dari para investor besar maupun ritel yang ada. Di sisi lain kinerja sahamnya juga tidak menggembirakan. Hingga akhir November saham GOTO telah turun sebanyak 45% dari harga yang dilepas pada saat awal IPO.

Beratnya kondisi keuangan GOTO membuat manajemen tentu saja berusaha menutupi angka negatif yang muncul di neraca keuangannya. Namun investor global saat ini sangat berhati-hati meletakkan investasinya. 

Investor ritel juga mulai kehilangan kepercayaan pada startup yang secara global mulai ada indikasi berguguran. Sehingga Langkah GOTO yang melakukan perampingan demi memperkecil pengeluaran menjadi pilihan yang sangat rasional. Kondisi serupa juga dialami oleh startup besar lainnya di Indonesia mengingat sebagian besar dari investor mereka berasal dari internasional.

Paska PHK, kemana jalan para startup?

PHK bukanlah pilihan yang menggembirakan bagi startup manapun. Mengingat investasi besar yang telah mereka lakukan dalam menarik, mendidik, dan memelihara para talenta ini agar mau bekerja bersama mereka. Namun sebagaimana peringatan para ekonom global, "the worst is yet to come". 

Meskipun negara kita diperkirakan tidak akan terlalu menerima dampak dari resesi, namun para startup punya ekosistem yang berbeda. Meskipun beroperasi di Indonesia, investor mereka adalah komunitas global. Sehingga kondisi di luar akan berpengaruh cukup signifikan bagi kondisi mereka. Terutama bagi startup yang belum berhasil mencetak keuangan positif dalam operasionalnya.

Strategi growth-driven yang selama ini menjadi pemandu keputusan bisnis mereka, saat ini harus menyesuaikan diri dengan realitas bisnis lainnya, yaitu laba. Resiko sekarang menjadi sesuatu yang Kembali diakrabi oleh para startup founder ini. Investor banyak juga yang menaruh jajaran eksekutifnya orang-orang yang telah memiliki pengalaman dan matang di perusahaan besar yang telah mapan. 

Mungkin tidak semua startup akan selamat dari badai ekonomi ini, tetapi mereka yang berhasil melewatinya, akan memiliki model bisnis yang jauh lebih solid dengan basis pertumbuhan yang jelas. Koreksi ini adalah momentum yang dibutuhkan oleh startup agar kembali menjejak bumi meskipun selalu menatap ke angkasa.

Pada sisi yang lain, melimpahnya digital talent yang terkena PHK juga membuat kompetisi talenta kembali ke arena. Selama ini para digital talent terlalu dianak-emaskan sehingga membuat talenta dengan kompetensi lain seperti hanya pelengkap. 

Hal ini tentu saja juga mendorong talenta lain juga harus mengerti proses bisnis digital dan mengadopsi sebanyak mungkin kompetensi penunjang digital lainnya bila kompetensi masih mau dianggap relevan dalam industri. 

Digitalisasi tetap tidak bisa dihindarkan, namun paling tidak saat ini para startup kembali menapaki jalan kedewasan sebagaimana banyak bisnis lain yang berhasil selamat saat terdisrupsi oleh kehadiran mereka. Startup pun juga harus berlatih terdisrupsi dan menemukan jalannya kembali.

Dr. Nur Hendrasto

Direktur Inkubator BIsnis Institut Tazkia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun