Mohon tunggu...
Dr. Nur hendrasto
Dr. Nur hendrasto Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Inkubator Bisnis Institut Tazkia

I'm a people and business development enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

PHK Startup: When the Disruptor Gets Disrupted?

21 November 2022   21:11 Diperbarui: 21 November 2022   21:21 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Pertumbuhan fantastis valuasi startup terkadang membuat kita mengerenyitkan dahi dan bingung akan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan saat melakukan kalkulasi. Para pelaku investasi pun terbagi dua aliran, mereka yang optimis percaya akan potensi dan pertumbuhan bisnis para startup, mengamini angka besar tersebut. 

Namun sebagian yang konservatif (kalau tidak mau disebut pesimis), meragukan metode yang digunakan. Terlebih lagi saat melihat strategi umum yang digunakan para startup untuk bertumbuh adalah dengan metode "bakar uang" secara radikal. 

Mereka paham betul konsumen Indonesia yang "modis" (modal diskon) hanya akan tertarik bila mereka menyediakan diskon yang besar jika menggunakan platform mereka. Hal ini membuat para startup semakin kesulitan menciptakan margin yang memadai bagi bisnis mereka.

Selain itu, untuk memastikan startup ini memiliki fitur terbaru dan tercanggih, mereka melakukan ekspansi dengan merekrut software engineer dengan gaji yang fantastis. 

Seorang teman bahkan bercerita salah satu strategi yang digunakan oleh startup nya untuk merekrut digital talent adalah dengan memberikan insentif pada siapapun yang berhasil menarik software engineer bergabung ke startup tersebut,akan dapat dapat 10 juta rupiah. 

Ini belum termasuk gaji engineer tersebut dan segala fasilitas lain yang bisa ia nikmati. Aksi ugal-ugalan ini kemudian membuat kampus dan penyelenggara kompetensi digital, ikut menikmati cuan dari besarnya demand digital talent pada startup.

Bila kita lihat pada laporan keuangan Bukalapak (BUKA) yang telah melepas kepemilikan sahamnya ke publik sejak agustus 2021, kinerja keuangan BUKA hingga saat ini masih mencatatkan nilai negatif dan baru ditargetkan akan memiliki kinerja keuangan positif pada kuartal IV di 2023. Sejalan dengan BUKA, GOTO yang melantai di bursa sejak April 2022 juga belum berhasil mencatatkan kinerja positif. 

Pada 2021 GOTO merugi 22,53 triliun. Angka ini naik 35% dari tahun sebelumnya dimana kerugian pada 2020 mencapai 16,62 triliun. Tercatat biaya marketing, diluar direct benefit ke customer berupa diskon, mencapai dua kali lipat dari pendapat bersih yang didapat. Belum lagi biaya operasional lainnya yang juga sangat besar. 

Hal ini tentu saja mendapat sorotan dari para investor besar maupun ritel yang ada. Di sisi lain kinerja sahamnya juga tidak menggembirakan. Hingga akhir November saham GOTO telah turun sebanyak 45% dari harga yang dilepas pada saat awal IPO.

Beratnya kondisi keuangan GOTO membuat manajemen tentu saja berusaha menutupi angka negatif yang muncul di neraca keuangannya. Namun investor global saat ini sangat berhati-hati meletakkan investasinya. 

Investor ritel juga mulai kehilangan kepercayaan pada startup yang secara global mulai ada indikasi berguguran. Sehingga Langkah GOTO yang melakukan perampingan demi memperkecil pengeluaran menjadi pilihan yang sangat rasional. Kondisi serupa juga dialami oleh startup besar lainnya di Indonesia mengingat sebagian besar dari investor mereka berasal dari internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun