Pancasila sila ke- 3 adalah Persatuan Indonesia, maknanya, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Berbeda Suku, Ras, Agama, bahkan sampai berbeda pendapat pun kita tetap satu. Tinggal di negara yang sama Indonesia.
Mengenai berbeda pendapat, baru-baru ini telah berlangsung pemilihan Presiden periode tahun 2019 -- 2024 banyak sekali pertentangan, tantangan, dan perbedaan pendapat yang hebat mengenai pemilu kali ini, bahkan media sosial dipenuhi dengan
perdebatan antar pengguna.
Di era globalisasi, media sosial bukan hanya dikuasai oleh kaula muda bahkan orang tua pun menguasainya. Perbedaan pendapat bukan menjadi ajang perpecahan belah justru pemilu sebagai ajang untuk berdemokrasi dan bersatu hal tersebut harus senantiasa dijadikan acuan utama untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia berdasarkan sila-sila Pancasila, dan tujuan utama pemilu adalah bagaimana bangsa Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang layak dan berkompeten. Perbedaan pendapat yang menyebabkan pertentangan pada saat pemilu tahun ini adalah, dikarenakan ada sifat egoisme dari masing-masing kubu, dan karena kandidat calon presiden serta wakil presiden hanya ada 2 kandidat.
Penyebab yang menjadikan pemilu tahun ini makin panas dengan adanya pertentangan yakni, munculnya suatu pihak yang membawa kerusuhan serta memperkeruh suasana bermaksud untuk menggoyangkan ideologi bangsa kita, yaitu Pancasila.
Jadi pemilu tahun ini makin terlihat runyam atas perilaku pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga banyak isu bahwa kandidat terpilih menjadi presiden, menganut ideologi selain ideologi Pancasila.
Dan menimbulkan persaingan yang tidak dewasa kita sebagai kaula muda harus mencermati bagaimana informasi yang valid, tidak hoax. Karena informasi sumber dari perpecahan. Kita harus realistis dalam memilih visi misi yang baik menurut kita tanpa harus menghujat pilihan yang berbeda dengan kita. Tetap menjaga persatuan dengan cara tidak memprovokasi
terutama lewat media sosial.
Pemilu bukan ajang perpecahan umat tetapi ajang untuk berdemokrasi, bersatubagaimana Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana, berkompeten, serta layak menjadikan Indonesia yang lebih baik kedepannya.
Oleh sebab itu, walau berbeda pilihan, berbeda pendapat, kita tetap satu bukan berkubu tetap berbangsa
satu Indonesia, dan berbahasa satu Indonesia bijak dalam memilih, tanpa menjatuhkan yang bukan pilihan kita, serta bijak dalam memperoleh informasi yang valid. Sehingga tidak menimbulkan fitnah yang berlebihan. Perbedaan dalam masyarakat Indonesia bukanlah hal yang baru, Indonesia berdiri karena rasa persatuan dari seluruh bangsa dan agama yang ada di Nusantara.
Hal ini menjadi landasan bagi para pendiri bangsa untuk menyematkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kalimat yang dicengkeram oleh buruh Garuda Pancasila. Namun sayangnya para elit politik seakan abadi dengan rasa persatuan yang telah terjalin berpuluh-puluh tahun, mereka mempertajam perbedaan pilihan dengan bingkai ujaran kebencian yang rawan akan konflik horizontal.
Upaya provokasi juga santer didengungkan untuk memilih kandidat tertentu, saling serang, saling tuduh marak bersliweran di jagad sosial media. Perkembangan teknologi informasi seakan membawa masyarakat ke era post truth, dimana orang tidak lagi mencari kebenaran berdasarkan fakta, melainkan mendefinisikan kebenaran dengan mencari pembenaran, konfirmasi dan dukungan terhadap keyakinannya sendiri. Tak peduli salah atau benar, asalkan mendapatkan banyak dukungan, maka sesuatu yang
masih samar akan dibenarkan dan digaungkan agar mendapatkan dukungan yang lebih besar.Asal informasi seakan sudah tidak penting, kebenarn ataupun kesalahan sebuah informasi sudah tak terpikirkan lagi.
Masyarakat di Indonesia telah terjebak dalam pusaran Echo Chamber dimana gema di media sosial menjadi fenomena post truth informasi berbasis emosi, terlepas dari berita tersebut hoaks atau tidak, cacat logika, atau tidak.
Fenomena tersebut bersenyawa dengan propaganda yang semakin memekakkan, hiruk pikuk kampanye Pilpres maupun Pileg, terus dieksploitasi oleh kaum elit politik. Dimana mereka lupa bahwa konflik yang tercipta untuk meraih kemenangan elektoral kerap terus berlanjut bertahun-tahun kemudian, hingga sampai pada masyarakat akar rumput.
Pemilu 2019 masih menyisakan residu polarisasi, meski bendera dan baliho kampanye telah lenyap dari pemandangan jalan desa dan kota. Sudah sepantasnya kampanye menjadi ajang adu program, namun kampanye hitam masih saja muncul, baik media cetak yang didistribusikan pada setiap masjid.
Klaim kemenangan Capres atas dasar survei internal, tentu menjadi catatan tersendiri atas pemilu. Klaim inilah yang kemudian diamini oleh pengikut loyalnya, meski pada kenyataannya, hasil survei quick count dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa Capres penantang belum bisa mengungguli Capres pertahana.
Selain itu, peran agam juga penting dalam merilekskan ketegangan pasca Pemilu, para tokoh agama tidak hnya bertugas berdakwah saja, namun juga berperan dalam menjelaskan tentang semangat persatuan dan sikap toleran. Sudah saatnya para elite politik utamanya yang turut andil dalam pemilu, agar dapat saling bertemu, bercengkerama dan tertawa untuk merajut kembali tali persaudaraan yang mungkin sempat renggang karena Pilpres 2019 yang menyedot perhatian masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H