Masyarakat di Indonesia telah terjebak dalam pusaran Echo Chamber dimana gema di media sosial menjadi fenomena post truth informasi berbasis emosi, terlepas dari berita tersebut hoaks atau tidak, cacat logika, atau tidak.
Fenomena tersebut bersenyawa dengan propaganda yang semakin memekakkan, hiruk pikuk kampanye Pilpres maupun Pileg, terus dieksploitasi oleh kaum elit politik. Dimana mereka lupa bahwa konflik yang tercipta untuk meraih kemenangan elektoral kerap terus berlanjut bertahun-tahun kemudian, hingga sampai pada masyarakat akar rumput.
Pemilu 2019 masih menyisakan residu polarisasi, meski bendera dan baliho kampanye telah lenyap dari pemandangan jalan desa dan kota. Sudah sepantasnya kampanye menjadi ajang adu program, namun kampanye hitam masih saja muncul, baik media cetak yang didistribusikan pada setiap masjid.
Klaim kemenangan Capres atas dasar survei internal, tentu menjadi catatan tersendiri atas pemilu. Klaim inilah yang kemudian diamini oleh pengikut loyalnya, meski pada kenyataannya, hasil survei quick count dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa Capres penantang belum bisa mengungguli Capres pertahana.
Selain itu, peran agam juga penting dalam merilekskan ketegangan pasca Pemilu, para tokoh agama tidak hnya bertugas berdakwah saja, namun juga berperan dalam menjelaskan tentang semangat persatuan dan sikap toleran. Sudah saatnya para elite politik utamanya yang turut andil dalam pemilu, agar dapat saling bertemu, bercengkerama dan tertawa untuk merajut kembali tali persaudaraan yang mungkin sempat renggang karena Pilpres 2019 yang menyedot perhatian masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H