Diakui bahwa Indonesia adalah Negara yang menempati posisi terbesar jumlah penduduk Muslimnya. Akantetapi potensi mayoritas muslim tersebut belum menjamin peran sosialnya. Hal ini tentu terkait dengan soal pendidikan, pertanyaannya Apakah pendidikan yang dikembangkan umat Islam sudah memenuhi fungsi dan sasarannya?
Berangkat dari penelitian pakar statistic “Yahya” menyimpulkan bahwa perguruan tinggi islam memiliki kecenderungan “ugal-ugalan” karena 65 persen dari seluruh dana PT hanya digunakan untuk biaya administrasi, sedangkan 35 persen lainnya untuk pendidikan. Kondisi tersebut menurut penulis tentu sangat memprihatinkan dan mengenaskan karena sudah mengeyampingkan kepentingan kualitas (SDM).
Lebih lanjut, pimpinan PT seolah beranggapan bahwa pengelolaan PT identik dengan pengelolaan SLTA yang diperluas. Padahal ada visi dan misi yang harus dicapai dan ada reputasi yang harus dipertanggungjawabkan. Sebab itu, segala sesuatu yang dilakukan perguruan tinggi harus dipertaggungjawabkan dan dikerjakan secara transparan.
Kembali pertayaan awal, setidaknya ada 2 faktor yang menjadikan model pendidikan islam bertipologi statis, tertinggal, dan tidak dikenal masyarakat. 1) subject matter pendidikan islam masih berorientasi kemasa silam (secara system) dan bersifat normative serta tekstual. 2) masih mengentalnya system pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap selalu benar. Oleh karena itu saya kira dalam konteks pengembangan pendidikan, konsep George Count masih relevan untuk dikemukakan ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H