Mohon tunggu...
Nur Widiyanto
Nur Widiyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer,

Orang biasa, hobi menulis tentang banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sisi Lain Kisah Siti Nurbaya

13 April 2023   14:09 Diperbarui: 13 April 2023   14:13 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Kasih Tak Sampai, yang dulu ditulis oleh Marah Rusli, bisa dibilang mengemas beragam pesan dari penulisnya. Bila dipahami, pesan-pesan yang disampaikan dalam alur cerita yang cukup kompleks dan saling terkait. Namun dalam tulisan ini, saya mencoba fokus pada tiga tokoh utama, dan melihat sebagian kecil sisi yang ditampilkan oleh Sang Penulis.

Tulisan inipun, sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan para tokoh (seandainya mereka adalah nyata), karena saya hanya mengulas berdasarkan kisah yang ditulisakan dalam novel ini.

Siti Nurbaya

Yang pertama, adalah tokoh SIti Nurbaya. Selain tentang kisah cintanya yang tak kesampaian, di sini kita bisa menangkap pesan lain yang ingin disampaikan penulis. Pesan itu adalah, tetang kondisi sosial-budaya yang kerap kurang memberi ruang keapda kaum perempuan. Siti Nurbaya, yang terpaksa menerima lamaran Datuk Maringgih, demi membebaskan ayahnya dari jerat utang, adalah sebuah fenomena yang perlu dicermati.

Di masa kini, kita memang melihat, banyak kaum perempuan menduduki jabatan-jabatan strategis, baik di pemerintahan maupun dunia usaha. Itu sebuah kemajuan, bisa dibilang demikian. Tapi cobalah sejenak kita melihat lebih luas. Jujur saya tidak memiliki data statistik tentang hal ini, tapi pengamatan saya di lingkungan sekitar, setidaknya bisa menjadi gambaran. Masih ada (banyak ?) kaum perempuan yang terjebak dalam kekangan, dengan berbungkus adat/budaya, kondisi ekonomi, atau bahkan (maaf) doktrin agama.

Kewajiban patuh pada orang tua atau kepada suami, baik karena alasan budaya, agama, maupun ekonomi, sering tidak memberi ruang kepada perempuan untuk menentukan pilihan pribadinya. Keleluasaan memilih pendidikan, pekerjaan, hingga keputusan lain, terlebih di kalangan masyarakat tertentu, seringkali tidak mereka miliki sepenuhnya. Dalam masyarakat jawa, ada paham tidak resmi, namun sepertinya masih dipegang di beberapa kalangan. Adanya istilah "wong mburi", wong wadon nggone neng padon", meski bukan istilah yang resmi, dan (mungkin) hanya berlaku di kalangan tertentu, setidaknya masih menggambarkan adanya pemangkasan hak-hak kaum perempuan pada budaya tertentu.

Syamsul Bahri

Syamsul Bahri digambarkan sebagai pemuda yang cerdas, dan berasal dari keluarga berada. Atas dorongan ayahnya, dia menempuh pendidikan kedokteran di Batavia, meski akhirnya tidak menamatkannya. Rasa frustasi karena merasa kehilangan Siti Nurbaya, yang sangat dicintainya, serta dendamnya kepada Datuk Maringgih, telah mendorongnya masuk militer Belanda.

Jujur saja, saya mengenal kisah ini awalnya dari sinetron (lupa tahun berapa dulu, saya masih SD), tayang di TVRI. Waktu itu kami begitu mengidolakan tokoh Syamsul Bahri, dan begitu senang ketika adegan Datuk Maringgih tertembak. Di kemudian hari, bagian kisah ini menjadi kontroversi tersendiri. Saya sempat membaca di beberapa forum dan artikel di internet, bagian ini sering mejadi kontroversi. Sebagian melihat peristiwa ini dari sisi lain, dimana seorang pemimpin perjuangan (Datuk Maringgih) tertembak oleh sesama pribumi yang memihak Kompeni Belanda.

Namun kalau kita melihat dari sisi yang lain, ada juga yang perlu kita cermati. Dikisahkan bahwa Syamsul Bahri mengalami shock yang cukup berat dengan kematian SIti Nurbaya. Kita tahu, dalam situasi terguncang parah, seseorang bisa bertindak di luar logika. Dan kita tidak bisa mengabaikan fakta sejarah, bahwa menjadi tentara Belanda adalah juga pekerjaan yang lazim pada masa itu.

Syamsul Bahri, digambarkan seorang serdadu yang disiplin, siap menerima perintah. Yang dilakukannya (terlepas dari motivasi pribadi ingin mati) adalah untuk mematuhi perintah atasan, mendukung kebijakan pemerintah yang sah pada masa itu.  JIka kita mengutuk tindakannya, bukankan masih banyak "Syamsul Bahri" lainya, yang juga berperang untuk mendukung kebijakan pemerintah Belanda (sebagai pemerintahan yang sah) saat itu ? 

Datuk Maringgih

Datuk Maringgih, digambarkan sebagai sosok yang tamak, kejam, dan juga culas. Dalam novel ini, dikisahkan Datuk Maringgih bertemu Syamsul Bahri dalam pertempuran antara pejuang Minang dan tentara Belanda, dan Syamsul Bahri berada di pihak Belanda. Tapi apakah secara otomatis hal ini memposisikan sang Datuk sebagai pahlawan ?

Di kemudian hari, bagian cerita ini seakan menjadi sebuah kontroversi oleh netizen. Sebagian orang mengartikan, tertembaknya Datuk Maringgih, adalah gugurnya seorang pemimpin perjuangan oleh tentara Belanda (dan tentara itu tidak lain adalah orang pribumi). 

Sejujurnya saya punya pertanyaan, atau mungkin semacam sudut pandang berbeda. Sebenarnya, apakah Datuk Maringgih itu benar-benar memimpin pergerakan rakyat, ataukan sebaliknya, mengambil kesempatan dari situasi kekecewaan rakyat terhadap pemerintah Belanda ? Dan kemudian, dari sisi rakyat, benarkah mereka mendukung Sang Datuk ? Ataukah mereka (dalam situasi yang kecewa dan tidak ada kepastian) akhirnya terpaksa mendukung kepemimpinan Sang Datuk karena tidak ada pilihan lain ?

Dengan status sosial Datuk Maringgih yang tinggi, harta yang berlimpah, serta punya power berupa orang-orang suruhan yang banyak, orang lain akan berpikir 2 x untuk menentang keinginan Sang Datuk. Ditambah lagi, dalam situasi kekecewaan, dengan kebijakan pemerintah Belanda saat itu, janji-janji melalui orasi Datuk Maringgih dan orang-orang suruhannya bisa jadi akan mempengaruhi opini rakyat.

Dan situasi ini masih relevan dengan kondisi sekarang. Kita masih sering melihat, seseorang maju dalam pencalonan (dari Kades, legislatif, dll) bukan karena dia seorang pribadi yang baik dan bisa menjadi teladan. Bisa saja seorang yang baik, berjasa banyak, kalah dengan mereka yang punya uang, ataupun power pressure besar di masyarakat. Kita juga tidak bisa mengabaikan fakta, ada tokoh-tokoh yang sebenarnya punya track record jelek, tiba-tiba tampil sebagai "pahlawan" yang dielu-elukan, dengan cara menebar janji-janji dan mengkritik keras kebijakan pemerintah yang berkuasa. Mungkin kita tidak suka, tapi itu realitanya.

Dari uraian di atas, ada pelajaran penting yang bisa kita ambil. Bila kita tidak hati-hati, bisa bisa terjebak dalam situasi seperti Siti Nurbaya, yang harus mengorbankan cinta (dapat juga diartikan, dalam konteks lain, idealisme). SIti Nurbaya tak mampu menolak lamaran Datuk Maringgih, demi menyelamatkan ayahnya. Kita pun bisa terjebak dalam situasi seperti Syamsul Bahri, berhadapan dengan sesama anak bangsa, tanpa tahu apa arti konflik yang sebenarnya. Atau seperti (sebagian) rakyat Minang saat itu,  mendukung Datuk Maringgih, tapi sesungguhnya tidak tau apa tujuan Sang Datuk sebenarnya, Hanya didorong kekecewaan terhadap Pemerintah Belanda, tapi tidak tau niat apa dibalik perlawanan Datuk Maringgih. 

Terlepas dari, benar dan tidaknya kisah ini, apakah legenda, atau murni fiksi, sudah selayaknya kisah ini menjadi pembelajaran penting bagi kita semua. Perjalanan panjang bangsa ini, sangat dipengaruhi pola pikir masyarakatnya, dan perlu disadari bersama, kita, ya kita, adalah bagian dari "masyarakat" itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun