Syamsul Bahri, digambarkan seorang serdadu yang disiplin, siap menerima perintah. Yang dilakukannya (terlepas dari motivasi pribadi ingin mati) adalah untuk mematuhi perintah atasan, mendukung kebijakan pemerintah yang sah pada masa itu. Â JIka kita mengutuk tindakannya, bukankan masih banyak "Syamsul Bahri" lainya, yang juga berperang untuk mendukung kebijakan pemerintah Belanda (sebagai pemerintahan yang sah) saat itu ?Â
Datuk Maringgih
Datuk Maringgih, digambarkan sebagai sosok yang tamak, kejam, dan juga culas. Dalam novel ini, dikisahkan Datuk Maringgih bertemu Syamsul Bahri dalam pertempuran antara pejuang Minang dan tentara Belanda, dan Syamsul Bahri berada di pihak Belanda. Tapi apakah secara otomatis hal ini memposisikan sang Datuk sebagai pahlawan ?
Di kemudian hari, bagian cerita ini seakan menjadi sebuah kontroversi oleh netizen. Sebagian orang mengartikan, tertembaknya Datuk Maringgih, adalah gugurnya seorang pemimpin perjuangan oleh tentara Belanda (dan tentara itu tidak lain adalah orang pribumi).Â
Sejujurnya saya punya pertanyaan, atau mungkin semacam sudut pandang berbeda. Sebenarnya, apakah Datuk Maringgih itu benar-benar memimpin pergerakan rakyat, ataukan sebaliknya, mengambil kesempatan dari situasi kekecewaan rakyat terhadap pemerintah Belanda ? Dan kemudian, dari sisi rakyat, benarkah mereka mendukung Sang Datuk ? Ataukah mereka (dalam situasi yang kecewa dan tidak ada kepastian) akhirnya terpaksa mendukung kepemimpinan Sang Datuk karena tidak ada pilihan lain ?
Dengan status sosial Datuk Maringgih yang tinggi, harta yang berlimpah, serta punya power berupa orang-orang suruhan yang banyak, orang lain akan berpikir 2 x untuk menentang keinginan Sang Datuk. Ditambah lagi, dalam situasi kekecewaan, dengan kebijakan pemerintah Belanda saat itu, janji-janji melalui orasi Datuk Maringgih dan orang-orang suruhannya bisa jadi akan mempengaruhi opini rakyat.
Dan situasi ini masih relevan dengan kondisi sekarang. Kita masih sering melihat, seseorang maju dalam pencalonan (dari Kades, legislatif, dll) bukan karena dia seorang pribadi yang baik dan bisa menjadi teladan. Bisa saja seorang yang baik, berjasa banyak, kalah dengan mereka yang punya uang, ataupun power pressure besar di masyarakat. Kita juga tidak bisa mengabaikan fakta, ada tokoh-tokoh yang sebenarnya punya track record jelek, tiba-tiba tampil sebagai "pahlawan" yang dielu-elukan, dengan cara menebar janji-janji dan mengkritik keras kebijakan pemerintah yang berkuasa. Mungkin kita tidak suka, tapi itu realitanya.
Dari uraian di atas, ada pelajaran penting yang bisa kita ambil. Bila kita tidak hati-hati, bisa bisa terjebak dalam situasi seperti Siti Nurbaya, yang harus mengorbankan cinta (dapat juga diartikan, dalam konteks lain, idealisme). SIti Nurbaya tak mampu menolak lamaran Datuk Maringgih, demi menyelamatkan ayahnya. Kita pun bisa terjebak dalam situasi seperti Syamsul Bahri, berhadapan dengan sesama anak bangsa, tanpa tahu apa arti konflik yang sebenarnya. Atau seperti (sebagian) rakyat Minang saat itu, Â mendukung Datuk Maringgih, tapi sesungguhnya tidak tau apa tujuan Sang Datuk sebenarnya, Hanya didorong kekecewaan terhadap Pemerintah Belanda, tapi tidak tau niat apa dibalik perlawanan Datuk Maringgih.Â
Terlepas dari, benar dan tidaknya kisah ini, apakah legenda, atau murni fiksi, sudah selayaknya kisah ini menjadi pembelajaran penting bagi kita semua. Perjalanan panjang bangsa ini, sangat dipengaruhi pola pikir masyarakatnya, dan perlu disadari bersama, kita, ya kita, adalah bagian dari "masyarakat" itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H