Jam 15:30 an tepatnya aku mulai berproses di dunia kepenulisan dari sebalik angkringan rasa cafe. Temanku yaitu Es Teh dan Mendoan dengan harga wajar. Es Teh 3 ribu, ini harga wajar di sebuah angkringan menurutku.Â
Aku pun memulai proses membaca buku, menulis dan menikmati keindahan alam yang tersaji di hadapanku. Saat berproses sekitar jam 4 an, jalan di depanku mulai ramai warga berolahraga.Â
Beberapa memarkir kendaran di depan angkringan tempatku berada. Aku perhatikan menyenangkan sekali bisa olahraga tanpa kendaraan mengelilingi Embung yang sangat luas ini. Menjadi ingin melakukannya juga di kesempatan lain.
Tak terasa waktu senja tiba. Aku yang masih berhadapan dengan dunia kepenulisan ini menikmati sambil menghabiskan mendoan yang tersisa 1 biji di senja itu.Â
Kuperhatikan warga yang berolahraga sudah berkurang banyak. Berganti angkringan tempatku beranjak ramai orang. Aku tetap tinggal untuk menyelesaikan hal yang seharusnya aku selesaikan. Hingga jam 6.30. Teh yang sudah tidak ada Esnya aku habiskan. Lalu bersiap pulang.
Kegelapan malam membuat aku pulang melalui jalur kiri dan keluar lingkungan Embung Tambakboyo melalui jalur lain yang berbeda dari jalur saat masuk.Â
Dari jalan keluar sudah tampak perumahan padat penduduk. Ku telusuri jalur keluar lurus lalu belok ke arah UPN Veteran. Sungguh itu perumahan padat penduduk semua. Jalannya juga sudah aku kenal. Disitu baru aku tau ternyata aku selama ini pernah melewati jalan menuju wisata gratis seindah itu. Tidak disangka sebelumnya. Mengejutkan. Perumahan padat penduduk itu yang membuat Embung Tambakboyo menjadi tersembunyi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H