Hari Sabtu, tanggal 27 Juni 2015
Karena saya tidak ingin kecolongan, maka hari ketiganya (Sabtu) saya sengaja pasang badan dengan duduk di dekat jendela ketika mesjid sudah selesai shalat. Anak saya pun nanya, apa yang akan saya lakukan dengan terror pelemparan batu ini. Saya bilang, "mommy sits near the window and listens what they will do to us."
Tidak biasanya sehabis shalat Subuh anak saya langsung tidur lagi, tapi kali ini saya biarkan. Yang penting dia sudah shalat, begitu kata batin saya. Jadi saya sendiri yang berusaha menjadi detektif. Saya sengaja duduk di dekat jendela sambil mengaji. Tentu saja dengan suara pelan, biar tidak kedengaran dari luar. Pada saat yang sama saya berusaha mendengarkan gerak langkah dan suara mereka apabila sudah mendekati rumah saya. Ceritanya saya akan keluar ketika mereka sudah sampai di sekitar (dekat rumah saya).
Benar juga, ketika geromobolan mereka lewat, saya langsung buka pintu depan rumah saya. Ternyata mereka sudah berada persis di depan pintu rumah saya. Maka kagetlah mereka semua, dan tidak menduga sama sekali, kalau langkah dan aksi mereka bisa kejebak seketika.
Saya langsung bilang ke mereka,”ohh ini yaa orang-orang yang melempar batu di jendela. Salah seorang dari mereka bilang, “Saya baru saja pulang shalat di mesjid.” Batin saya kok langsung berada di depan rumah saya. Pentolan atau dalangnya sedang mengintip di tetangga sebelah saya, yang jualan bakso. Kebetulan pintunya dibuka, jadi dia pura-pura (sekedar) menyapa. Sedangkan anak-anak lainnya berdiri di pinggir jalan.
Saya mencoba mengambil gambar mereka, hasilnya tidak begitu jelas, karena hari masih sedikit gelap. Dan mereka buru-buru lari berhamburan di gang seblah kanan rumah saya. Tapi tidak begitu lama, saya dengar suara mereka dari arah jalan sebelah kiri rumah saya. Saya buru-buru keluar dan mengawasi apa yang akan mereka lakukan. Mereka berusaha mendekati rumah saya, tapi lihat saya kemudian balik lagi. Eh mereka mencoba kembali lagi dan sengaja (berusaha) mendekati rumah saya dan saya terus mengawasi kemana arah mereka bergerak sambil ditutupi kepala mereka dengan sarung.
Ternyata mereka bergerak ke arah kanan rumah saya, tepatnya di depan rumah Pak RT, di tempat kami tinggal. Saya mencoba mendekati, mereka langsung kabur dan lari terbirit-birit. Setelah saya balik ke rumah, mereka balik nongkrong disitu. Lama-lama saya panas, saya kejar mereka dengan jalan kaki, tapi mereka lari menjauh tentunya karena takut sama saya. Sampai di depan rumah pak RT, apa boleh buat saya ketuk rumahnya. Mungkin beliau masih tidur, saya tidak peduli. Ketukan pertama tidak memperoleh tanggapan, begitu juga yang kedua masih belum juga terbangun. Baru ketukan yang ketiga, beliau terbangun dan membukakan pintu.
Saya langsung cerita kalau anak-anak tadi masih melakukan aksinya. Tapi kepergok oleh saya, akhirnya mereka lari. Sampai sekarang mereka masih mencoba mendekati rumah saya, bahkan beberapa kali nongkrong di depan toko pak RT tadi.
Beliau pun cerita kalau kemarin sempat ke rumah salah satu pengurus mesjid dan menanyakan kasus yang menimpa saya. Akhirnya cucunya cerita, yang melakukan itu adalah yang sudah saya duga sebelumnya dan sudah saya datangi rumahnya kemarin. Hanya karena kelicikan dia, berusaha mengelaknya. Saya memang sudah tahu bagaimana track record dan jeleknya nama dia selama ini, yang suka mencuri hp dan sandal pelanggan di rumah saya. Pak RT ini juga cerita kalau anak ini yang membobol kos-kosannya. Jadi memang dialah pelaku utamanya, sedangkan anak-anak lainnya dipakai sebagai alat atau dipengaruhinya.
Setelah saya lapor pak RT, saya pun pulang dan tentunya saya berharap beliau akan menyelesaikannya. Tidak sampai 30 menit kemudian, pak RT lewat di depan rumah saya dan beliau bilang,”sudah saya ancam dia kalau melakukan aksinya lagi.” Saya juga menunjukkan batu yang dipakai untuk melempari rumah saya.
Setelah itu saya sedikit tenang, tapi bathin saya tetap berkata untuk waspada pada hari berikutnya. Takut mereka melakukan aksinya lagi besok pagi, saya harus siap. Saya juga memberi kabar ke bu RT apa yang saya duga itu benar. Saya cerita kalau keponakannya memang ikut terlibat dan menurut cerita dari pak RT tadi dia adalah pelaku utamanya. Sedangkan kawan-kawan lainnya ikut dipengaruhi agar jejak langkahnya sedikit bisa ditutup-tutupi.
Hari Minggu, tanggal 28 Juni 2015
Untuk mengantisipasi aksinya lagi, seperti biasanya saya berusaha duduk di dekat jendela agar bisa memonitor ketika mereka lewat rumah saya. Paling tidak saya bisa langsung buka pintu. Hp saya sudah saya isi penuh baterainya, jadi sewaktu-waktu untuk mengambil gambar siap dan bisa. Walaupun mungkin gelap hasilnya, karena tidak ada blitz nya. Pintu rumah tetap saya tutup, hanya lampu yang menyala seperti biasa untuk menandakan bahwa ada orang di dalamnya yang sedang bekerja dan tidak tidur.
Saya mencoba dengarkan setiap gerakan orang yang lewat, rasanya tidak mendengar suara gerombolan dari mereka. Mungkin mereka sudah lewat, ketika mesjid sedang kultum. Jadi saya tidak mendengarnya. Tapi saya tahu ada suara orang yang lewat, hanya kurang jelas saja membuat saya tidak langsung membuka pintu.
Namun saya bersyukur hari ini mereka tidak mengganggu lagi. Saya tidak tahu apa karena takut ancaman dari pak RT atau karena pemberitahuan sms saya kepada bu RT, yang menjadi saudara dari pelaku utamanya.
Apa pun itu, semoga kejadian ini tidak terulang lagi. Saya kasihan kepada anak saya yang mendengar terror langsung, bahkan mengenal orang-orang yang melakukannya. Rasanya lucu juga, ternyata kami sudah mengenal dekat anggota gerombolan tadi.
Apa yang dia cari, saya sendiri tidak tahu. Kalau ternyata mau mencuri hp, ternyata hp saya malah jadul, apabila dijual pun harganya sangat murah. Mau nyuri computer, yang ada desktop dan juga sudah banyak yang rusak. Belum tentu punya nilai ekonomis yang tinggi? Hanya karena saya masih pakai saja, saya berusaha memanfaatkannya. Tapi kalau mau dijual, saya yakin banyak orang yang tidak mau. Apalagi dilihat dari kepraktisannya, tentu sangat tidak praktis.
Hari Senin, pagi ini saya tetap siaga dan berusaha duduk di dekat jendela. Takut kecolongan. Apa yang tidak pernah saya duga, ternyata berbalik arah. Rambut memang sama hitam, tapi hati dan niatan siapa yang tahu.
Semoga mereka (anak-anak) sadar atau disadarkan. Kasihan orang tuanya yang akan menanggung beban, apabila anak-anaknya berpolah dan bertingkah yang tidak baik. Apalagi mereka masih anak-anak, jangkauannya masih panjang.
Itu saja harapan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H