Hari mendekati supervisi, ketegangan sudah semakin tampak kasat mata. Entah mengapa, setiap mendengar kata "supervisi", kesan "angker" selalu muncul sekelebat. Layaknya seorang calon penyanyi yang ikut audisi Indonesian Idol. Atau para pecinta kulinari ketika mencoba peruntungan di ajang Master Chef. Nah, rasanya supervisi itu gak jauh deh dari mereka.
Gejala yang tampak, baik sedikit terlihat hingga sangat terlihat diantaranya:
1. Panik
Aduh, saya sampai di materi mana ya supervisinya? Wah, mana admistrasinya belum beres.
Itulah kira-kira yang ada di otak dan "mulut" para guru. Sebenarnya panik ini lebih dikarenakan karena tidak siapnya guru dengan administrasi mengajar tercetak. Soalnya kadang ada guru yang ditanya "sudah selesai administrasinya belum?" jawabnya enteng aja "tinggal diprint!" Ini kejadian nyata, sampai-sampai ungkapan "tinggal diprint" jadi bahan gurauan teman-teman di kantor. Padahal belum selesai!
2. Bingung
Setelah panik melanda, bingung menjadi kata negatif yang muncul melengkapinya.
Kira-kira media apa ya yang mau dipakai? Metode apa ya yang bikin anak aktif di kelas saya? Pendekatan yang paling pas apa ya?
Akhirnya sibuklah guru mengutak-atik otak, tenaga dan waktu mereka untuk mencari adonan mengajar yang paling pas dan tepat sasaran. Dan ini butuh waktu yang cukup panjang dan melelahkan, terkadang harus begadang bermalam-malam.
3. Sibuk
Melebihi kesibukan para anggota DPR yang bolak-balik ke luar negeri. Bedanya, guru sibuk bolak-balik ke meja printer! Ngeprint di sini, printernya belum diinstal. Ke meja lainnya, tintanya habis. Ke meja ujung, kabelnya error! Akhirnya waktu tersita cuma buat nyari printer yang bener! Belum lagi persiapan media pembelajaran dan alat bantu mengajar. Sampai-sampai guru rebutan "in focus"! Maklumlah, persediaan masih terbatas.