Kubuka jendela angkutan umum di belakang tempatku duduk. Sekuat tenaga kudorong ke samping, tapi kaca geser itu bergeming. Akhirnya aku urungkan membukanya, terpaksa membiarkan tetesan demi tetesan keringat turun dan membuat perih mataku. Cuaca di kota ini tak pernah sejuk, gerutuku.
Kuputuskan mengambil buku yang ada di  dalam tas untuk dijadikan kipas. Lecek, lecek, deh! pikirku. Sudah hampir satu jam aku duduk, tapi angkot yang sudah hampir penuh ini tak juga bergerak.
"Bang, jalan dong!" seru beberapa penumpang yang badannya juga basah penuh keringat.
Bau pengap bercampur berbagai aroma keringat dari penumpang yang berjejalan semacam ikan pindang di pasar Pabean, tidak juga membuat sopir angkot ini jalan.
"Sebentar, kurang satu lagi," jawabnya santai tak berempati.
Lalu muncullah pangeran penyelamat kami, seorang pemuda masuk sebagai penumpang terakhir. Kami bersorak tanpa aba-aba karena lega. Akhirnya, angin dari pintu angkot yang lebar menyejukkan para penumpang.
"Mbak, kuliah di Unesa?" tanya penumpang terakhir itu padaku. Rupanya ia memerhatikan buku yang tadi kupakai kipas-kipas. Sudah menjadi kebiasaan, aku menuliskan di semua bukuku nama dan sekolahku. Entah sulit untuk tidak melakukannya, seperti ada yang kurang saja.
"Iya," jawabku singkat. Pemuda yang duduk tepat di depanku itu tersenyum. Tapi tidak menarik bagiku.
Tak berapa lama, satu persatu penumpang turun. Tinggallah kami berdua yang tersisa. Aku yang sedari awal malas menanggapi obrolannya, menjadi kikuk. Berjaga-jaga, bakalan judes kalau dia bertanya-tanya lagi. Sampai akhirnya kami turun bersama di depan kampus.
Dia turun duluan dan membayar ongkos angkot, sementara aku masih mencari dompet dalam tasku.
Masya Allah, sepertinya aku kecopetan!