Setiap kali membaca ulang novel ini, saya merasakan amarah, kesedihan, sekaligus harapan. Bumi Manusia bukan hanya kisah tentang masa lalu, tetapi juga cermin bagi zaman ini.Â
Saya belajar bahwa perjuangan bukan hanya tentang melawan penjajah secara fisik, tetapi juga melawan cara berpikir yang menindas.
Minke mengajarkan saya bahwa pendidikan adalah senjata, tetapi keberanian untuk bertindaklah yang menentukan hasilnya.Â
Annelies mengajarkan bahwa ketidakberdayaan bukanlah kesalahan individu, tetapi sistem yang tidak adil. Sedangkan Nyai Ontosoroh, ibu Annelies, adalah simbol ketangguhan perempuan yang menolak tunduk pada nasib.
Novel ini mengajarkan bahwa perjuangan untuk keadilan tidak pernah selesai. Ketimpangan sosial, diskriminasi, dan kebebasan berpikir masih menjadi isu di dunia modern.Â
Minke dan Nyai Ontosoroh seakan berbisik kepada kita, bahwa sejarah tidak boleh berulang jika kita mau belajar darinya.
Ada Rasa yang Mendalam dari Membaca Buku "Bumi Manusia"
Jika Anda ingin memahami bagaimana kolonialisme membentuk bangsa ini, bacalah Bumi Manusia. Jika Anda ingin merasakan bagaimana cinta dan harapan bisa tumbuh di tengah ketidakadilan, bacalah Bumi Manusia.Â
Dan jika Anda ingin menemukan inspirasi untuk berani bersuara di tengah ketidakadilan modern, maka Bumi Manusia adalah bacaan wajib.
Pramoedya Ananta Toer menulis bukan untuk sekadar bercerita, tetapi untuk membangunkan kesadaran kita. Melalui kata-katanya, kita diajak untuk berpikir, merenung, dan akhirnya bertindak.Â
Dalam peringatan 100 tahun Pram, mari kita warisi semangatnya "untuk terus membaca, menulis, dan berani menyuarakan kebenaran".