Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Menelusuri Jejak Perlawanan Dalam Bumi Manusia

2 Februari 2025   10:43 Diperbarui: 2 Februari 2025   10:59 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Tahun 2025 menandai satu abad sejak kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Warisannya begitu kuat, menjulang tinggi dalam dunia sastra, meskipun hidupnya penuh rintangan. 

Tulisan-tulisannya menggugah kesadaran, menyingkap sejarah yang kerap disembunyikan, serta menghidupkan karakter-karakter yang mencerminkan realitas bangsa ini.

Bagi saya, membaca karya Pram bukan sekadar menikmati cerita, melainkan perjalanan menyelami kehidupan, sejarah, dan kemanusiaan.  Setiap bukunya menyimpan nyawa, suara bagi yang tak bersuara, dan perlawanan bagi yang tertindas. 

Di antara banyak mahakarya yang ia hasilkan, satu buku yang paling menyentuh hati saya adalah "Bumi Manusia" sebuah kisah cinta, ketidakadilan, dan perjuangan yang melampaui zaman.

Membedah "Bumi Manusia": Antara Cinta, Perlawanan, dan Martabat

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."

Kalimat legendaris dari Bumi Manusia ini mencerminkan esensi dari perjuangan intelektual dan kebebasan berpikir. 

Novel ini, yang merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru, mengisahkan perjalanan Minke, seorang pemuda pribumi yang berpendidikan Eropa dalam menentang ketidakadilan kolonialisme Belanda di Hindia Belanda.

Namun, Bumi Manusia bukan sekadar kisah politik. Novel ini juga menghadirkan roman tragis antara Minke dan Annelies, seorang gadis keturunan Indo yang menjadi korban sistem hukum kolonial yang rasis. Hubungan mereka yang penuh harapan harus kandas oleh aturan yang tidak berpihak pada pribumi.

Saya masih ingat, dalam novel ini, Pram dengan brilian menggambarkan ketimpangan sosial, diskriminasi rasial, serta bagaimana kolonialisme mencengkeram martabat bangsa ini. 

Lebih dari sekadar cerita fiksi, Bumi Manusia adalah refleksi tentang perjuangan, kesadaran kelas, dan identitas nasional.

Setiap kali membaca ulang novel ini, saya merasakan amarah, kesedihan, sekaligus harapan. Bumi Manusia bukan hanya kisah tentang masa lalu, tetapi juga cermin bagi zaman ini. 

Saya belajar bahwa perjuangan bukan hanya tentang melawan penjajah secara fisik, tetapi juga melawan cara berpikir yang menindas.

Minke mengajarkan saya bahwa pendidikan adalah senjata, tetapi keberanian untuk bertindaklah yang menentukan hasilnya. 

Annelies mengajarkan bahwa ketidakberdayaan bukanlah kesalahan individu, tetapi sistem yang tidak adil. Sedangkan Nyai Ontosoroh, ibu Annelies, adalah simbol ketangguhan perempuan yang menolak tunduk pada nasib.

Novel ini mengajarkan bahwa perjuangan untuk keadilan tidak pernah selesai. Ketimpangan sosial, diskriminasi, dan kebebasan berpikir masih menjadi isu di dunia modern. 

Minke dan Nyai Ontosoroh seakan berbisik kepada kita, bahwa sejarah tidak boleh berulang jika kita mau belajar darinya.

Ada Rasa yang Mendalam dari Membaca Buku "Bumi Manusia"

Jika Anda ingin memahami bagaimana kolonialisme membentuk bangsa ini, bacalah Bumi Manusia. Jika Anda ingin merasakan bagaimana cinta dan harapan bisa tumbuh di tengah ketidakadilan, bacalah Bumi Manusia. 

Dan jika Anda ingin menemukan inspirasi untuk berani bersuara di tengah ketidakadilan modern, maka Bumi Manusia adalah bacaan wajib.

Pramoedya Ananta Toer menulis bukan untuk sekadar bercerita, tetapi untuk membangunkan kesadaran kita. Melalui kata-katanya, kita diajak untuk berpikir, merenung, dan akhirnya bertindak. 

Dalam peringatan 100 tahun Pram, mari kita warisi semangatnya "untuk terus membaca, menulis, dan berani menyuarakan kebenaran".

Jadi, apakah Anda siap menyelami dunia Bumi Manusia dan menemukan makna di baliknya?

Semoga bermanfaat !

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun