Sistem pendidikan Finlandia telah lama menjadi perhatian dunia karena pendekatannya yang berbeda dan hasil yang luar biasa. Salah satu prinsip utama dalam sistem pendidikan mereka adalah menghindari pemberian label kepada siswa, baik dalam bentuk positif maupun negatif.
Dalam sebuah diskusi antara Prof. Rhenald Kasali dan Desiree Lahulima, seorang pendidik yang telah lama mengajar di Finlandia, terungkap bahwa guru-guru di sana tidak menggunakan kata sifat seperti pintar, rajin, bodoh, atau lambat saat menilai perkembangan siswa.Â
Sebaliknya, mereka menggunakan kalimat berbasis kata kerja yang menyoroti capaian konkret siswa, seperti "Kamu sudah bisa menghitung 1-10" atau "Kamu sudah memahami makna toleransi" dan lain sebagainya.
Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih adil dan suportif, sehingga setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang tanpa terbebani oleh label tertentu. Namun, di banyak negara lain, pemberian label kepada siswa masih menjadi praktik yang umum.Â
Lalu apa dampak dari kebiasaan ini? Berikut beberapa dampak negatif pemberian label pada siswa:
1. Menurunkan Kepercayaan Diri dan Motivasi Belajar
Pemberian label negatif, seperti "lambat belajar" atau "pemalas", dapat mengurangi rasa percaya diri siswa. Mereka mulai percaya bahwa label tersebut benar adanya, sehingga enggan untuk mencoba atau meningkatkan kemampuannya. Dalam dunia psikologi, fenomena ini dikenal sebagai self-fulfilling prophecy, di mana seseorang akhirnya bertindak sesuai dengan label yang diberikan kepadanya.
Sebaliknya, label positif seperti "jenius" atau "siswa terbaik" juga bisa memberikan tekanan tersendiri. Siswa yang diberi label positif mungkin merasa terbebani untuk selalu memenuhi ekspektasi tersebut, sehingga ketika mereka mengalami kegagalan, rasa percaya dirinya bisa turun drastis.
2. Membentuk Stereotip dan Diskriminasi dalam Kelas
Memberikan label bisa menciptakan pengelompokan yang tidak sehat di lingkungan sekolah. Siswa yang diberi label sebagai "pintar" akan mendapatkan lebih banyak perhatian dari guru, sedangkan yang dianggap "kurang mampu" sering kali diabaikan atau kurang mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Penelitian menunjukkan bahwa pelabelan bisa memperkuat perbedaan sosial di dalam kelas. Siswa yang sejak awal dianggap tidak mampu cenderung mendapatkan lebih sedikit tantangan akademik, sehingga peluang mereka untuk berkembang semakin terbatas.