_Ema melangkah keluar dari ruangan tak terpakai dengan penuh tanya, ada kebingungan tapi juga secercah harapan di hatinya. Saat ia melihat arlojinya, waktu menunjukkan pukul 01.00 Berarti nenek itu mendatanginya sekitar pukul 00.00. Tapi kemana ia? Mengapa cepat sekali? Siapa dia? Apakah dia manusia? Ema kemudian mempercepat langkahnya, menuju motor tuanya di parkiran._
***
Ema duduk di meja belajarnya, menatap topeng perak yang kini terasa berat di tangannya. Malam itu terasa hening, namun pikirannya sibuk. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk mengubah hidupnya, tapi dari mana ia harus memulai?
"Jika aku tetap jadi Ema, mereka akan bingung dan takkan berhenti menghancurkanku. Tapi kalau aku menjadi orang lain... aku bisa mengubah keadaan," gumamnya.
Rencana mulai terbentuk di kepalanya. Untuk menjalankan identitas barunya, ia membutuhkan dokumen, latar belakang, bahkan kehidupan baru. Satu-satunya orang yang bisa membantunya adalah Gino, sahabatnya sejak SMP.
***
Pagi harinya, Ema bertemu Gino di kafe kecil dekat kampus. Gino, seorang pemuda jangkung dengan rambut acak-acakan dan mata teduh, sedang mengetik cepat di laptopnya. Begitu melihat Ema datang, ia tersenyum lebar.
"Ema! Kamu terlihat... berbeda," ujarnya, menyadari perubahan aura di wajah sahabatnya itu.
Ema berusaha tetap tenang, meski topeng itu kini tersembunyi di dalam tasnya. "Aku butuh bantuanmu, Gin."
Gino meletakkan cangkir kopinya. "Apa? kau tahu aku selalu ada untukmu."
Ema mengambil napas dalam. "Aku butuh identitas baru. Nama, kartu identitas, semua hal yang bisa membuat seseorang... terlihat nyata."
Gino mengerutkan alis. "Tunggu, tunggu. Identitas baru? Untuk siapa?"
Ema berpikir cepat. "Untuk seseorang yang aku kenal. Dia kehilangan ingatan setelah kecelakaan. Sekarang dia tidak punya dokumen apapun. Aku hanya ingin membantunya memulai hidup baru."
Gino terdiam sejenak, mempelajari wajah Ema. "Ini tidak seperti permintaan kecil, Ema. Kau tahu aku bisa melakukannya, tapi ini berisiko."
"Please, Gino. Aku tahu kau bisa dipercaya. Ini penting," kata Ema, matanya memohon.
Gino menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Baiklah. Aku akan bantu. Tapi aku harap kau tahu apa yang kau lakukan."
"Terimakasih banyak Gino. Aku akan meminta temanku itu untuk menemui mu siang ini, pukul 15.00 ya.. Tapi aku gak bisa menemani kalian, aku harus bimbingan." Jelas Ema.
"Lalu?" Tanya Gino.
"Tenang saja aku sudah kasih tahu ciri-cirimu dan lokasinya, di meja ini juga ya, aku pergi dulu, makasih banyak Gin." Lanjut Ema sambil melambaikan tangannya dan beranjak pergi.
***
Sore itu, Gino menunggu di kafe yang sama. Ia memainkan ponselnya sambil melirik pintu setiap beberapa detik.
Tak lama, seorang wanita muda melangkah masuk. Ema dengan topeng ajaibnya, tampak anggun dengan gaun sederhana dan senyum lembut. Wajah Gino seketika berubah. Ia terdiam, terpukau oleh kecantikan wanita itu.
"Maaf, mas Gino ya?" tanyanya dengan suara yang halus, tapi tegas.
Gino mengangguk, cepat berdiri dari kursinya. "Ya, saya Gino. Anda pasti temannya Ema? Tanyanya kemudian.
"Ya, saya.. Amelia," jawab Ema secara random menyebutkan namanya."Ema bilang Anda orang yang sangat bisa dipercaya. Terima kasih sudah meluangkan waktu."
Gino menarik kursi untuknya, lalu duduk kembali. "Jadi, apa yang bisa saya bantu?"
Amelia mulai bercerita tentang dirinya. Tentu, sebagian besar adalah kisah yang sudah disiapkan oleh Ema. Ia mengaku sebagai seseorang yang kehilangan ingatan setelah kecelakaan, yang membuatnya kehilangan dokumen dan identitas.
"Aku ingin memulai hidup baru," kata Amelia, menatap mata Gino dengan penuh harap. "Tapi aku butuh bantuan kalian. Ema bilang Anda bisa membantu saya."
Gino mengangguk perlahan. "Ini rumit, tapi saya akan mencoba. Jika Ema percaya pada Anda, maka saya juga."
***
Selama beberapa minggu berikutnya, Gino bekerja keras. Ia meretas sistem untuk membuat dokumen palsu yang tampak otentik. Paspor, KTP, bahkan riwayat pendidikan untuk identitas baru Amelia.
Di sela-sela itu, Ema bergantian dengan Amelia sering mengunjungi Gino untuk memantau perkembangan. Kadang mereka berbincang ringan, tapi seringkali Gino tak bisa menahan diri untuk menunjukkan perhatian lebih pada Ema.
"Ema, kau tahu aku ini hacker, kan? Aku menghabiskan waktu dengan laptopku, aku juga ingin punya gebetan seperti teman lainnya,hehe Sebenarnya aku menyukai seseorang, tapi..."
Ema mengira Gino pasti terpikat dengan Amelia. "Ciee... Siapa? Jangan-jangan Amelia ya, nanti aku sampaikan deh" potong Ema sambil tersenyum menggoda Gino.
"Bukan, jangan ! Bukan Amelia, ya sudahlah aku lanjutkan lagi tugasku." Jelas Gino. "dasar gak peka!" Gumamnya pelan.
Gino tersenyum tipis. "Ema, kau tahu, selama ini aku selalu ada untukmu karena aku..." Ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Aku selalu.." Gino ragu untuk melanjutkan.
"Selalu apa Gin? " Selidik Ema
" Aku... Aku.. selalu ingat kedua orang tuamu yang sangat baik kepadaku dulu." Jawab Gino, padahal bukan itu yang sebenarnya mau ia katakan.
Kata-kata itu membuat Ema terdiam.Â
Gino kemudian memukul mulutnya sendiri. "Duh, maaf, kamu jadi sedih ya Ma? Maaf!"
"Gak apa-apa Gin." Ia tahu Gino selalu baik padanya, ia satu-satunya teman yang dekat dan peduli kepadanya. Ia berterimakasih dulu orang tuanya sering membantu Gino, sejak mereka SMP.
***
Akhirnya, semua dokumen untuk identitas Amelia selesai. Gino menyerahkannya pada Ema dengan senyum bangga.
"Sekarang Amelia punya identitas lengkap. Tapi aku ingin tahu, apa rencana selanjutnya?" tanya Gino penasaran.
Ema mengambil dokumen itu, menggenggamnya erat. "Aku hanya ingin memastikan dia mendapatkan kehidupan yang pantas."
Gino mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi pertanyaan. "Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, kau harus janji, kau akan datang padaku dulu."
Ema tersenyum kecil. "Aku janji, Gin. Terima kasih untuk semuanya."
***
Malam itu, di kamarnya, Ema menatap dirinya di cermin. Ia mengenakan topeng itu sekali lagi, melihat perubahan drastis yang membuatnya hampir tak percaya.
"Amelia," gumamnya, mencoba membiasakan nama itu.
Dengan identitas baru ini, ia akan melangkah ke dunia yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi satu hal yang ia tahu pasti, ia takkan lagi menjadi korban.
Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H