***
Nenek mendengarkan dengan sabar, sesekali mengusap punggung Ema dengan lembut. Setelah Ema selesai bercerita, nenek itu membuka tas tua yang ia bawa dan mengeluarkan sepotong roti dan baju hangat.
"Makanlah, nak. Dan kenakan ini, agar kau tidak kedinginan," kata nenek sambil tersenyum.
Ema memakan roti itu perlahan, air matanya masih mengalir. Kehangatan dari baju yang diberikan nenek meresap hingga ke hatinya yang dingin.
"Aku ingin memberimu sesuatu," kata nenek tiba-tiba, menarik sesuatu dari dalam tasnya.
Ema memandang heran. Di tangan nenek tergenggam sebuah topeng perak yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Ukirannya rumit, hampir seperti sebuah karya seni kuno.
"Apa ini?" tanya Ema bingung.
"Ini adalah topeng ajaib, nak. Jika kau memakainya, kau akan menjadi seperti yang kau inginkan," jawab nenek sambil menyodorkannya.
Ema tertawa kecut. "Apa gunanya itu? Tidak ada yang bisa mengubah hidupku. Bahkan jika aku cantik, mereka tetap akan membenciku."
Nenek tersenyum kecil, penuh kebijaksanaan. "Kecantikan tidak selalu datang dari penampilan, tapi terkadang dunia perlu melihatmu dari sisi lain agar mereka tahu siapa dirimu sebenarnya. Cobalah, nak."
Dengan ragu, Ema meraih topeng itu. Ia memandangnya sejenak, lalu perlahan memakainya. Begitu topeng itu menempel di wajahnya, tubuhnya terasa hangat, seperti ada aliran energi yang menjalar dari ujung kepala hingga kaki.