Bagian 2: Awal dari Perubahan
_Sofie dan teman-temannya marah karena Ema dibantu oleh pak Brian. Sofie yang memang menyukai pak Brian dan tidak suka Ema mencari perhatian dengan kepandaiannya, menghukum Ema dengan menguncinya di sebuah ruangan kosong di belakang kampus. Ema sudah berulangkali berusaha membuka pintu dan berteriak tapi tak berhasil. Ruangan itu memang jarang dilewati sehingga tak seorang pun mendengar teriakannya. Lalu bagaimana nenek itu bisa berada disana?_
***
Ema tertegun melihat sang nenek. Cahaya remang bulan yang menembus jendela tua menyoroti sosok nenek tua tersebut. Wajahnya lembut, penuh keriput, tapi ada sesuatu yang aneh. Matanya, tajam namun penuh kasih, seolah mampu menembus dinding kesedihan Ema.
"Nak, mengapa kau menangis di tempat seperti ini?" tanya nenek itu, suaranya serak tapi menenangkan.
Ema ingin menjawab, tapi bibirnya kelu. Bagaimana mungkin seorang nenek bisa berada di ruangan yang terkunci ini?
"Aku... aku... siapa Anda?" Ema akhirnya berhasil bersuara, meski masih ketakutan.
"Namaku tak penting. Yang penting adalah aku di sini untuk menolongmu," jawab nenek itu sambil berjongkok di depan Ema.
"Aku tidak butuh pertolongan," Ema mencoba tegar, meski air matanya masih mengalir.
"Tidak, kau butuh. Kau telah menahan terlalu banyak luka, terlalu banyak air mata. Biarkan aku membantumu."
Mendengar itu, pertahanan Ema runtuh. Ia menangis terisak-isak, menceritakan semuanya, kehilangan orang tuanya, kekejaman bibinya, penghinaan Sofie dan gengnya.