Bagian 1: Kelam yang menyelimuti
_Ema melihat pantulan dirinya di cermin toilet kampus, ia melihat tubuh gemuknya dengan wajah bulat berkacamata. Ia juga mengingat semua perlakuan bibi dan sepupunya di rumah serta teman-temannya di kampus. Air matanya menetes, "Ibu, seandainya kau masih ada.." gumamnya lirih._
***
Hujan mengguyur deras ketika Ema tiba di rumah. Pakaiannya basah kuyup, tubuhnya menggigil. Ia baru saja pulang dari kampus, terlambat karena dosen memperpanjang kelas. Bibinya, Bu Mirah, langsung menyambutnya dengan suara nyaring.
"Astaga, kamu ini tidak tahu diri! Lihat lantai yang baru saja aku pel! Sekarang basah semua karenamu!" Bibinya melotot dengan tangan di pinggang.
Ema menunduk, berusaha menjelaskan, "Maaf, Bi. Hujannya tiba-tiba deras, aku ... "
"Diam! Kamu selalu punya alasan! Cepat bersihkan lantainya!" bentak bibinya sambil menyerahkan kain pel dengan kasar. "Setelah itu cepat buatkan kami makan malam. Apa sih bisamu? Sudah pemalas, lamban lagi!" lanjutnya.
Ema menghela napas, tubuhnya yang lelah semakin terasa berat. Sejak kepergian orang tuanya, rumah ini bukan lagi tempatnya bernaung, melainkan menjadi neraka kecil. Bibinya memperlakukannya seperti pembantu, sementara Sofie, sepupu sebayanya, selalu menemukan cara untuk mempermalukannya.
***
Di kampus, Sofie dan gengnya adalah mimpi buruk lain bagi Ema.
"Hei, lihat siapa yang datang! Si anak gendut dengan wajah penuh jerawat!" seru Sofie keras-keras di tengah koridor.