Baru-baru ini ada info bahwa tiket masuk ke Candi Borobudur akan naik jadi Rp750 ribu. Tentu saja info ini menuai pro dan kontra.
Tujuan adanya perubahan harga tiket yang signifikan ini adalah untuk lebih menjaga dan melestarikan Candi Borobudur. Maklum, candi ini adalah situs sejarah yang sangat istimewa. Selain itu, Candi Borobudur juga merupakan tempat ibadah bagi umat Buddha.
Saya yang sejak kecil rutin mudik ke Yogyakarta sudah tentu sering plesiran ke Candi Borobudur. Candi yang terletak di Magelang, Jawa Tengah ini "akrab" dengan kehidupan saya. Sejak dahulu, setiap mudik saya mengusahakan untuk berkunjung ke Candi Borobudur. Tujuan saya ya untuk membantu melestarikan candi ini.
Menurut saya, kalau kita, warga lokal (dan masyarakat Indonesia pada umumnya), sering berkunjung ke situs sejarah seperti ini, berarti menghargai keberadaannya, menghidupkan suasana di sini, meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitarnya, sekaligus lebih memperkenalkan situs hebat ini di mata dunia (bukankah setiap ke tempat wisata kita selalu senang foto-foto lalu membagikannya di media sosial?).
Saya setuju banget harga tiket masuk ke tempat-tempat wisata di Indonesia dibedakan antara untuk wisatawan lokal dan mancanegara. Apalagi selisih harganya cukup jauh.Â
Saya pernah beberapa kali berkunjung ke tempat-tempat wisata bersejarah di luar negeri. Tentu saja saya yang termasuk wisatawan mancanegara harus membayar harga tiket yang lebih mahal daripada harga tiket untuk turis lokal.Â
Di sini saya malah senang. Saya merasakan banget pemerintah setempat menghargai situs sejarahnya. Jadi, ketika mengunjungi situs sejarah itu, di hati saya juga timbul rasa menghargai yang tinggi.
Begitu juga ketika tempat wisata di negeri sendiri harga tiket untuk wisatawan mancanegara jauh di atas harga tiket untuk wisatawan lokal.Â
Dengan begini, saya pribadi merasa wisatawan mancanegara akan lebih menghargai aset bangsa kita. Sebaliknya, sebagai "pemilik aset" saya juga jadi lebih bangga dan merasa dihargai karena boleh menikmati keindahan aset milik bangsa sendiri, dengan harga terjangkau.
Itu baru dari segi harga tiket. Sekarang, dari sikap kita dalam memperlakukan situs bersejarah ini. Saya pribadi akan lebih menghargai tempat wisata ini dengan mematuhi peraturan yang sudah ditetapkan.Â
Dalam hal Candi Borobudur, tidak memanjat stupanya, tidak berlarian di antara stupa-stupa dan patung-patung lain, tidak mencorat-coret bagian manapun dari candi ini, dan tidak meninggalkan sampah.Â
Bahkan, saya pernah berkunjung ke sini dan pada saat itu tidak diperbolehkan naik ke lantai tujuh sampai puncak karena bagian ini masih dalam perawatan akibat dampak abu vulkanik Gunung Merapi, ya jelas, saya patuhi peraturannya. Padahal pada saat itu sedang pengin-penginnya melihat bagian puncak Candi Borobudur lagi.
Buat saya, Candi Borobudur bukan sekadar tempat wisata yang hanya bisa dikunjungi. Bagi saya, candi yang luar biasa mengagumkan ini sangat bisa ditelaah maknanya lebih dalam, dipelajari sejarahnya, dianalisa untuk mengetahui suasana masa lalu yang penuh keagungan dan kesakralannya, serta diperkenalkan ke anak cucu kelak agar mereka juga mengerti tentang Candi Borobudur lebih dalam.
Lebih jauh lagi, Candi Borobudur telah menjadi salah satu sumber inspirasi terbesar yang membuat saya bisa meraih prestasi. Saya pernah menjadi juara lomba menulis cerpen tingkat nasional, tahun 2013.Â
Cerpen berjudul Aryasena itu berlatar Candi Borobudur. Keistimewaan cerpen itu, selain latarnya di Candi Borobudur, adalah menggunakan bahasa Indonesia yang literer, dengan tingkatan lebih tinggi dan penggunaan diksi yang saya buat mendekati level sastra. Saya mengerahkan semua pikiran dan tenaga untuk bisa menghasilkan cerpen ini. Keberhasilan ini karena rasa kagum saya yang sangat tinggi pada Candi Borobudur.
Saya juga pernah terpilih menjadi penulis di ajang lomba menulis bergengsi tingkat nasional bertajuk Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang diselenggarakan oleh Kemendikbud, tahun 2019.Â
Tulisan saya itu adalah tentang keseharian anak-anak yang mengagumi Candi Borobudur. Melalui tulisan itu pula saya mengenalkan istilah tingkatan sebagai simbol kehidupan makrokosmos pada Candi Borobudur, yaitu kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. Mengenalkan ini pada anak-anak, butuh trik khusus agar mereka bisa memahami, lho.
Selain itu saya juga pernah terpilih sebagai peserta di acara Borobudur Writers Festival. Dua di antara banyaknya acara di ajang ini adalah melakukan yoga di pelataran candi dan membaca relief yang ada pada candi ini.Â
Betapa mengharukan, menyenangkan, dan menenangkan lho, melakukan yoga sambil menghadap ke candi yang megah ini. Â Saya juga terharu melihat keagungan dan kesakralan kehidupan masyarakat Indonesia, melalui baca relief yang ada pada salah satu tingkat Candi Borobudur.
Betapa cintanya saya pada Candi Borobudur. Betapa kagumnya pada situs sakral ini. Segitu "niat"nya saya pada Candi Borobudur. Itu sebabnya sejak kecil saya senang berkunjung ke sini. Lagi pula, sebagai orang Indonesia, saya merasa seperti ada "kewajiban" ikut melestarikan candi ini.Â
Saya yang bukan siapa-siapa, cara melestarikannya ya dengan rutin berkunjung ke candi ini dan menyebarkan keberadaan serta kehebatannya melalui berbagai media, termasuk lewat tulisan-tulisan yang saya angkat di ajang lomba tingkat nasional.
Sayangnya, ketika saya kembali tinggal sementara di Yogyakarta tahun lalu, nggak sempat berkunjung ke Candi Borobudur. Padahal sudah diagendakan. Namun saat itu Yogya sedang hujan terus, sehingga saya berkali-kali batal main ke Magelang.Â
Saat itu juga masih dalam suasana pandemi, jadi kunjungan ke mana-mana pun masih dibatasi. Tapi sampai saat ini, saya tetap berniat untuk rutin mengunjungi Candi Borobudur. Selain untuk melepas rindu pada situs bersejarah ini, sekaligus untuk ikut melestarikan keberadaannya.
Betul, ada orang, bahkan banyak, yang sering bertindak kurang sopan saat berkunjung ke candi ini. Ada yang naik-naik ke stupanya padahal sudah jelas dilarang dan kadang-kadang ada gumpalan tisu bekas yang tertinggal.
Saya setuju pemerintah memberlakukan peraturan untuk lebih meningkatkan rasa menghargai kita pada aset bangsa ini. Saya juga setuju pemerintah memberikan harga yang tinggi pada tiket masuk untuk wisatawan mancanegara yang ingin menikmati candi hebat ini.Â
Namun, kalau boleh memilih, saya ingin harga tiket sampai ke puncak Borobudur untuk wisatawan lokal, tetap standar. Betul, harga tiket masuk Rp750 ribu ini hanya kalau kita ingin naik sampai puncak, tapi alangkah baiknya kalau harga tiket sampai ke atas tetap bisa terjangkau, seperti biasa.
 Ini penting buat orang-orang seperti saya yang ingin rutin berkunjung, bukan sekadar duduk-duduk melihat batu tua, tapi ingin memaknai lebih dalam dan lebih jauh dari itu, dengan berkunjung sampai ke puncaknya. Kalau harga tiket sampai ke atas Rp750 ribu, orang-orang seperti saya tidak akan bisa rutin berkunjung sampai atas lagi. Jadi saya berharap harga tiket masuk candi ya standar saja (sampai ke puncaknya).
Menurut saya, untuk tetap menjaga dan melestarikan candi ini, diberlakukan saja tindakan tegas bagi pengunjung yang tidak mematuhi peraturan. Beri saja sanksi untuk pengunjung yang berani memanjat stupa, menyentuh bagian candi yang tidak boleh disentuh, atau membuang sampah sembarangan.
Kalau harga tiket dinaikkan sampai Rp750 ribu dengan alasan untuk menjaga kelestarian candi, saya khawatirnya malah orang-orang yang biasanya tidak mematuhi aturan, yang sanggup membayar Rp750 ribu untuk sampai ke puncak candi.Â
Lalu mereka tetap melakukan hal-hal yang tidak sesuai peraturan. Orang-orang seperti saya yang justru ingin membantu melestarikan dan melakukan riset untuk bahan tulisan dalam rangka mengedukasi masyarakat serta menyebarkannya ke kancah nasional dan internasional, jangan-jangan malah tidak bisa masuk sampai atas karena terkendala biaya. Sayang sekali, kan?
Kalau kamu, setuju nggak tiket masuk Candi Borobudur jadi Rp750 ribu? Alasanmu bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H