Bahkan tak sedikit guru yang belum sertifikasi mempertanyakan, apa bedanya guru yang telah sertifikasi dengan guru yang belum sertifikasi?.
Atau ketika guru bertanya apa bedanya guru yang tidak menyandang guru penggerak dengan guru yang menyandang guru penggerak?.
Atau lebih ekstrem, apa bedanya guru dengan status PNS dengan guru berstatus PPPK atau dengan guru yang saat ini masih berstatus honorer?.
Pertanyaan-pertanyan itu seolah-oleh menegaskan bahwa, seabrek title yang dimiliki seorang guru kadangkala tak sesuai dengan ekspektasi tentang guru ideal di sekolah.
Lebih miris lagi, tak semua orang yang lulus dengan title Sarjana Pendidikan (S.Pd) bisa menjadi seorang guru bukan karena minimnya kesempatan berkarya dan mengabdi.
Lebih dari itu, kreteria guru di era Mas Mentri bukan hanya memiliki title Sarjana Pendidikan (S.Pd), namun harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) terlebih dahulu baru bisa menjadi guru.
Apakah selama kurang lebih 8 semester dan 4 tahun pendidikan seseorang calon guru belum cukup untuk menyebut guru tersebut sebagai profesional?.
Tentunya guru tidak bisa dibandingkan dengan seorang dokter yang harus menjadi spesialis karena memang setiap anggota tubuh manusia memiliki perlakuan yang berbeda.
Guru hanya perlu memenuhi empat kompetensi yaitu profesional, pedagogik, sosial dan kepribadian, lalu apakan selama kurang lebih 8 semester atau 4 tahun tidak bisa untuk mendalami hal tersebut?.
Haruskan merengkuh pendidikan profesi guru lagi untuk bisa dikatakan sebagai Sarjana Pendidikan (S.Pd) yang benar-benar profesional?.
Seabrek title guru untuk apa?.