Mohon tunggu...
Agustian Deny Ardiansyah
Agustian Deny Ardiansyah Mohon Tunggu... Guru - Guru yang tinggal di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Setiap tulisan yang saya tulis dan memiliki nilai manfaat pada blog kompasiana ini, pahalanya saya berikan kepada Alm. Ayah saya (Bapak Salamun)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kesakralan Doa Seorang Ibu

21 Desember 2023   22:55 Diperbarui: 5 Januari 2024   05:44 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Ketika Mendampingi Saya Menikah (Sumber: Agustian Deny Ardiansyah/Dokpri)

Hari itu langkah kaki terasa berat, air mata tak bisa terbendung dan jalan terasa gontai. Rasanya waktu berhenti dan kenanganya tak akan pernah saya lupakan sepanjang hayat dan hidup.

Pagi itu memang tak seperti hari-hari lainnya, ransel yang biasanya tersimpan waktu itu itu terisi penuh, baju-baju sudah tidak ditempatnya dan beberapa buku memenuhi tas berdesakan dengan baju.

Simbah medekapku dengan kencang dan tak terasa air mata keluar dari bola matanya yang tak sekuat dulu ketika muda.

Begitu juga dengan ibu, tak berhenti bertutur dan selalu mengingatkan "hati-hati, jaga kesehatan, sering-sering telfon dan selalu ingat kepada Allah SWT serta selalu beribadah" ucapnya sambil menciumi wajah ini.

Suasana memang sangat mengharu biru, untuk pertama kalinya saya akan pergi jauh dari rumah, merantau tak kenal saudara hanya yakin kepada sang pencipta.

Bagaimana tidak, di tempat rantau tak ada keluarga sedarah hanya yakin akan kemampuan yang telah ditempa selama puluhan tahun dan bimbingan dari orangtua.

Modal membawa ijazah S1 Pendidikan geografi dengan predikat cumloud saya memberanikan diri untuk merantau ke tanah Melayu tepatnya di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung.

Ketika kaki akan menuju pintu bandara, ibu menarik tanganku dan kembali bertuah "le sing ati-ati yo, ojo kremungsung sing sabar, ojo lali dongo karo tepo sliro karo uwong" ucap ibu sambil kembali meneteskan air mata.

Setelah itu kami kembali berpelukan dan melaju untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tanah rantau yang benar-benar baru pertama kali saya mengunjunginya.

Sesampainya di bandara tujuan, saya kembali menelepon ibu dan mengabari bahwa saya sudah mendarat dan akan melanjutkan perjalanan  menuju sebuah desa trasmigrasi dimana calon istri saya (saat ini istri saya) memberikan alamat rumah orang tuanya.

Kala itu calon istri saya memang masih harus menyelesaikan kuliahnya dan sudah memasuki semester akhir sehingga saya yang harus berangkat duluan ke rumahnya.

Ketika sudah sampai beliau menyambut saya dengan hangat, saya masih ingat ada bakwan, telo goreng dan teh hangat.

Sambil berbincang ringan beliau menanyakan tentang perjalanan yang baru saya lalui. 

"gimana perjalananya, senang apa tidak?" Beliau bertanya. 

"alhamdulilah senang", jawabku singkat.

"Orangtua sudah mengizinkan?" lanjut beliau,

"alhamdulilah sudah", kembali ku jawab sambil malu-malu.

"Jika begitu insyallah sudah aman, karena yang paling penting itu doa orangtua setelah itu niat kita masing-masing" lanjut beliau bertutur.

Setelah obrolan singkat itu beliau mengantarkan saya ke kamar untuk beristirahat dan saya hanya bisa berucap terimakasih dan terimakasih.

Menjelang akan istirahat, saya sempatkan kembali mnelpon ibu untuk mengabari kondisi saya ketika sudah sampai ditempat tujuan.

Ibu bertanaya, "wes tekan le, wes mangan urong? ati-ati lan sabar terus sing ramah ojo grusa-grusu" ibu kembali mengingatkan saya untuk sabar dan berhati-hati serta tidak mudah mengambil keputusan tanpa ada pikiran yang dalam.

"iyo buk, dongane wae yo bu" jawabku.

"iyo, ibuk dongo terus, saben sholat anak-anak ibuk mesti tak dongake, sukses lan mugo dadi uwong kabeh". Kembali ibuku menimpali.

***

Setelah beberapa hari bermukim dan sudah mengenal seluk beluk desa tersebut saya memberanikan diri untuk melamar pekerjaan di sekolah-sekolah yang ada di sekitar desa trasmigrasi tersebut.

Sambil menunggu kabar baik dari lamaran yang saya sebar, saya mengisi kebosanan dengan berjulan pulsa dan bensin agar tidak terkesan  tidak ada usaha.

Seminggu, sebulan, dua bulan menunggu jawaban lamaran yang saya sebar tidak ada satupun yang mau memanggil saya untuk sekedar melakukan wawancara.

Lama-kelamaan saya juga merasa bosan hingga suatu saat terbesit untuk kembali dan pulang ke rumah, terlebih sudah hampir 3 bulan lebih saya hanya mengisi kegiatan dengan berjualan.

Pokonya rasanya sudah campur aduk, terlebih tidak ada sanak saudara yang bisa dimintai bantuan untuk berkonsultasi tentang situasi tersebut.

Akhirnya pada suatu sore saya kembali menelfon ibu dan menguatarakan maksud saya ingin pulang, dengan nada sedih saya bilang kepada ibu "buk kok kayak'e aku arep mantuk wae yo, la neng kene gak oleh-oleh gawe".

"Sing sabar le yo, jenenge wiwiti kudu sabar, poko'e ibu dongake terus ora leren ibu sing donga, mugo-mugo ana kabar apik yo le" jawab ibuku memotivasi.

***

Keesokan harinya saya mengutarakan kegundahan hati saya pada seorang teman yang sudah saya kenal setelah beberapa bulan tinggal di desa trasmigrasi tersebut.

Saya bercerita panjang lebar bahkan mengutarakan ingin kembali pulang ke rumah, namun saat itulah beliau bertanya kepada saya terkait lamaran pekerjaan yang saya edarkan.

"Sudah bawa lamaran kemana saja?" tanya beliau.

Saya jawab "di SMP dan SMA dekat desa trasmigrasi ini",

kemudian beliau menanyakan kepada saya "apakah sudah melamar di SMA Muhammadiyah?".

Sepotan saya jawab "belum".

"Coba melamar kesitu" teman saya memotivasi.

Akhirnya pada malamnya saya kembali menelfon ibu dan meminta restu dari ibu untuk mencoba melamar di SMA Muhammadiyah tersebut.

Saat saya telfon, ibu hanya berkata "nyoba wae le, isok-isok pas koe ngelamar, engko bue tak sholat dhuha, dongake koe men lek cepet oleh gawe sing mbok karep-karepke".

"Amin, matursuwun yo buk" jawabku.

***

Paginya sebelum berangkat saya sempatkan menelfon ibu kembali dan meminta doa serta tak lupa melakukan dua rekaat sholat dhuha sambil berlinang air mata dan memanjatkan doa "jika memang rizki saya disini maka mudahkanlah".

Setelah itu saya bergegas menuju SMA Muhammadiyah tersebut dan sesampainya disana saya tak menemui kepala sekolahnya hanya bertemu dengan wakil kepala sekolah.

Beliau menerima surat lamaran saya dan diminta menunggu kabar setelah nanti lamaran itu disampaikan kepada kepala sekolah.

Bebrapa hari menunggu, alhamdulilah saya mendapat panggilan dari SMA Muhammadiyah tersebut dan akhirnya saya mendapat kesempatan wawancara dengan kepala sekolah.

Beliau bertanya ini itu dan akhrinya setelah hampir kurang lebih 30 menit berbincang, alhamdulilah beliau menerima saya di sekolah itu.

Setelah itu saya diminta untuk meminta jadwal kepada wakil kurikulum dan hari senin nanti untuk bisa hadir ke sekolah dan mulai melakukan tatap muka.

Malamnya saya langsung menelfon ibu dan menceritakan semua kejadian yang saya alami pagi tadi, ibu hanya bisa bersyukur dan bertutur "pokok'e sabar lan sabar agar memang nyambut gawe yo sing tenanan lan agar dipercoyo ojo mblenjani, ibuk dongake terus neng kene".  

Jawabku pelan "matur suwun yo buk, matur suwun dongane sampena sing ratau mandek".

Selamat Hari Ibu, Salam Cerpen Hari Ibu, Salam Kesakralan Doa Ibu, Terimakasih Ibu. 

Bangka Selatan, 21 Desember 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun