Mohon tunggu...
Nuke Hatta
Nuke Hatta Mohon Tunggu... -

Rakyat yang memahami bahwa keberpihakan lebih baik dari apatis, takut memihak. Memilih satu opini lebih baik daripada tidak beropini. Membela meski salah, lebih baik daripada bingung siapa yang harus dibela. Selama rasional, logis, tidak membabi-buta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adi dan Pohon Tuhan

17 Mei 2016   16:19 Diperbarui: 17 Mei 2016   16:40 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

           Mungkin setengah jam berlalu, Adi tidak menghitung waktu di masa kini. Ia tersadar ketika Pohon menggoyang-goyangkan pokoknya, membangunkan Adi yang memang setengah tidur setengah sadar.

           “Bagaimana?” tanya Pohon pada Adi yang tampak sibuk membersihkan tubuhnya dari serat-serat kulit pokok Pohon yang menempel.

            “Aku tidak bisa menjelaskan seperti apa kekinian yang Kau maksud. Tapi aku tahu rasanya. Aku mengerti kenapa Kau tidak butuh yang lain bila Kekinian sudah merasuk,” Adi menjawab dengan wajah yang masih tampak setengah sadar.

           Pohon Bijaksana itu tersenyum. Seperti dari balik rimbun daunnya tampak mulut yang mengembang. Adi tidak takut dengan Pohon yang bisa bersuara dan tersenyum ini.

           “Nah, Adi, pintu ini selalu terbuka untukmu. Kapan pun kau ingin merasakan kekinian, datanglah kembali dan peluklah aku lagi. Bila kau kalut dengan apa yang terjadi di ruang waktumu di luar padang rumput ini, ingatlah, di sini tempat yang selalu ada menunggu tanpa batasan. Ini adalah realitas yang selalu ada, tidak punah. Untuk masuk ke sini, kau hanya butuh keheningan, dan melepas yang membuat keheningan dalam dirimu menghilang,” Pohon itu menjelaskan dengan suara yang lembut namun kokoh seperti suara yang memang dimaksudkan untuk dipahami dan diterima tanpa sanggahan.

           “Apakah aku tidak akan tersesat dari menemukan tempat ini lagi?” Adi bertanya lugu.

           Pohon tersenyum sekali lagi, dan menggeleng.

          Tak lama Adi merasakan tubuhnya ditarik menjauh. Seperti disedot oleh sebuah vacuum cleaner yang kuat. Dan Adi menyaksikan pemandangan Pohon, padang rumput, langit yang hijau membuyar. Seperti sebuah puzzle yang terpecah bertaburan.

          “Got ya!” Mama, membuka kardus tempat Adi bersembunyi. “Teguh sekali tempatmu bersembunyi, Nak. Mama sampai mencari ke mana-mana.” Mama membuka kardus yang menutup seluruh tubuh Adi yang mungil dan mengangkatnya keluar. Ia menciumi pipi mungil Adi dan memeluknya erat. “Lapar kamu pasti kan Sayang!” Mama mengerling. Adi mengangguk riang. Masakan mama sangat sedap.

          Adi telah lupa pertemuan dengan Pohon dan padang rumputnya. Berganti dengan ingatan tentang mama, papa, makanan, pakaian, dan kamar bermainnya. KINI air liurnya menggenang, ia sudah tak sabar mencicipi masakan mama yang lezat.

stories-for-children.ca
stories-for-children.ca
************

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun