Mohon tunggu...
Nuke Hatta
Nuke Hatta Mohon Tunggu... -

Rakyat yang memahami bahwa keberpihakan lebih baik dari apatis, takut memihak. Memilih satu opini lebih baik daripada tidak beropini. Membela meski salah, lebih baik daripada bingung siapa yang harus dibela. Selama rasional, logis, tidak membabi-buta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adi dan Pohon Tuhan

17 Mei 2016   16:19 Diperbarui: 17 Mei 2016   16:40 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tercium bau lembab. Ukuran ruang yang menampung Adi hanya seukuran tubuh mungilnya. Ia meringkuk diam. Berusaha tak bersuara, tapi keheningan membuat dengus nafasnya jelas terdengar. Adi membatin, “Bagaimana supaya nafas ini tak terdengar.” Adi berusaha menahan nafasnya. Tidak cukup lama, karena ia langsung sesak. Ia memejamkan mata. Kini di hadapannya tampak sebuah padang rumput dengan sebatang pohon kokoh yang daunnya membulat rindang. 

Tampak juga di hadapannya langit biru yang melengkung seperti ujungnya menabrak bumi. Adi berpikir, “Apakah di ujung sana, persis di dekat langit yang menyentuh bumi, ada harta karun?” Tapi, Adi langsung teralih perhatiannya ke pohon kokoh yang seperti menariknya untuk mendekat. Adi membayangkan tubuhnya melayang di atas daratan. Dia mendekat sembari terbang. Dan persis di bawah pohon yang kini ia beri nama, Pohon Tuhan, ia mendarat dan membungkukkan diri.

          “Pohon, berapa umurmu?” tanya Adi. Entah kenapa ia merasa pohon itu bisa menjawab.

          “Aku tidak memiliki umur, Adi,” Pohon besar itu ternyata memang bisa bersuara. Adi tidak kaget, dia sudah mengira sebelumnya.

          “Bagaimana sampai Kau tidak tahu, berapa umurmu, wahai Pohon Rindang?” Adi penasaran ingin tahu.

           “Aku tidak tahu. Aku hanya tahu, aku sudah ada di sini sejak semula. Menyaksikan rumput tumbuh dan berganti warna dari waktu ke waktu. Langit selalu jadi sahabat yang tidak berubah jadi malam. Di tempat ini, Matahari tidak berhenti bersinar. Aku melihatnya selalu tersenyum,” Pohon itu menjelaskan dengan suaranya yang besar padat, seperti pokoknya yang berdiri lurus, paling perkasa di antara rumput yang tingginya mencapai mata kaki Adi.

            “Apakah kau tidak bosan?” tanya Adi lagi.

            “Apa itu bosan?” Pohon itu bertanya pada Adi.

            “Bosan, ya bosan. Kamu bosan dengan tempatmu berdiri, kamu berandai langit berubah jadi malam, dan Matahari menghilang, atau rumput berganti dengan hamparan pasir. Tidakkah kau pernah terpikir itu?” Adi menjelaskan.

             “Untuk apa, Sahabat Kecil? Aku tidak mengenal apa yang kau katakan. Ini adalah waktuku, tempatku. Kekinianku. Dan ketika kekinian ini begitu penuh, tidak perlu diisi oleh hal lain yang aku tidak harus tahu,” Pohon berdehem. Melanjutkan, “Peluklah aku, Sahabat Kecil. Pejamkan matamu, dan rasakan tanpa suara apa yang aku mengerti tentang kekinian.”

            Adi kembali melangkahkan kaki lebih dekat ke arah Pohon yang bisa bersuara itu. Ia merenggangkan lengan untuk mulai memeluknya. Pohon itu begitu besar, kedua tangannya tidak bisa bertemu. Dan seketika ia memang merasakan damai. Adi ingin bertanya, tapi ia menahan diri untuk bersuara, dan dia membiarkan dirinya kosong, tanpa kata tanpa pikiran. Hanya menikmati damai yang menyusup masuk ke kalbunya. Kekinian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun