"Jij tahu tidak bahwa dulu sebetulnya bangsa pribumi banyak juga yang jahat," kata Hans berapi-api. Sudrun menggeleng. "Ya, waktu itu banyak perempuan inlander yang menyodorkan dirinya untuk dijadikan gundik petinggi kami hanya demi harta. Mereka dengan rakus mengeruk pundi-pundi gulden untuk diberikan kepada keluarga mereka."
Sudrun hanya tersenyum, tetap duduk dengan santai menanggapi ocehan Hans. "Benar begitu, Meneer?" Hans mengangguk sekilas. "Bukankah itu malah bagus? Lalu kejahatan apalagi yang diperbuat inlander pada waktu itu?" tanya Sudrun sambil mengisap rokoknya lagi.
"Mereka korupsi!"
"Oh, ya?"
"Ya! Orang-orang inlander yang bekerja di pemerintahan kami sering nyolong upah dari yang semestinya mereka terima. Coba jij pikir, mereka seharusnya hanya menerima 150 gulden setiap bulan. Tapi nyatanya, dalam setahun mereka bisa mempunyai uang sampai sebesar 10.000 gulden!"
"Wow, hebat, dong!" ujar Sudrun setengah berteriak. "Hmm ... tapi itu mungkin dari hasil bumi yang mereka jual, Meneer? Konon, tanah leluhur kami ini sangat kaya raya, yaa ... setidaknya sebelum para penjajah datang. Atau ... mungkinkah perbuatan itu mereka contoh dari atasannya?"
"Hei, maksud jij korupsi itu kami yang ajarkan?" Kali ini Hans melotot sambil mendekatkan wajahnya ke arah Sudrun. Beberapa saat ia terkesiap ketika mengetahui bahwa Sudrun tidak memiliki bola mata.
"Sabar, Meneer ... aku ini murni bertanya. Sebab dulu di sekolah, aku tahunya penjajah datang dan rela berperang demi merebut tanah Indonesia yang kaya akan hasil buminya. Dan dampak bagus lain dari lamanya penjajah bercokol di bumi Indonesia, mau tak mau mereka banyak mengajarkan hal baru kepada kami. Misalnya, cara bercocok tanam yang baik, lalu memperkenalkan bahan-bahan apa saja yang diperlukan untuk membangun jalan, dan ... ah, aku lupa lagi, Meneer. Waktu sekolah, pelajaran sejarahku nilainya merah. Lantas, apa praktik korupsi itu juga termasuk, ya?" Dengan wajah polos Sudrun menatap Hans lekat-lekat. Ia ingin tahu jawaban yang akan diberikan oleh pelaku sejarah itu.
"Wacht even, itu bola mata jij kenapa tidak ada?"
"Ah, Meneer. Kenapa malah balik mempertanyakan hal yang sudah biasa, sih?"
"Maksud jij?"