Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi dan anak-anak. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kereta Ini Melaju Lebih Cepat

29 Januari 2021   15:02 Diperbarui: 29 Januari 2021   15:08 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih berdiri di depan mesin minuman otomatis (yang mengeluarkan botol setelah dimasuki selembar uang lima ribu atau sepuluh ribuan) ketika mendengar celoteh anak kecil mendekat. Aku sempat menoleh ke arah sumber suara. Ternyata seorang wanita berbaju merah yang lumayan cantik sedang menggamit lengan dua balita perempuan kembar. Pantas saja celotehan mereka ramai sekali. Mereka kemudian melintas di belakangku sebelum kulanjutkan memilih minuman yang kusuka. 

Waktu aku menoleh ke arah mereka, ketiganya terlihat gembira meski si wanita tampak kewalahan menghadapi balita kembar yang tidak berhenti bertanya perihal apa saja yang dilihatnya. Wanita itu juga hanya membawa satu tas---yang tidak terlalu besar tetapi juga tidak bisa dibilang sebagai tas kecil---yang talinya terselempang di depan dadanya dan satu kantong keresek berlogo salah satu minimarket. 

Selesai meneguk air teh kemasan botol dan membetulkan letak tas ransel yang memeluk punggungku, aku cepat-cepat berjalan menyusuri peron dan mencari gerbong kereta jurusan Bandung yang nomornya sesuai dengan nomor pada tiketku. Tidak terlalu sulit, karena hanya ada dua rangkaian kereta yang berhenti di stasiun sore ini. Aku segera naik dan mencari kursiku. 

"Maaf, Bu, ini nomor kursi tiga puluh tiga 'kan?" tanyaku pada seorang wanita yang ... ah, ternyata dia wanita dengan dua balita kembar tadi. Aku lihat dia sudah nyaman duduk di kursi yang nomornya sesuai nomor tiketku sambil memangku salah satu balitanya. Sedangkan satunya, dia biarkan duduk sendiri di kursi sebelahnya. 

"Oh, iya, benar. Gimana, Mas? Ini sama dengan nomor yang ada di tiket saya," ujarnya ramah sambil mengulurkan selembar kertas yang sedang digenggamnya.

Aku meraih kertas itu dan melihat nomor yang tertera. Lalu sedikit tersenyum, aku menjawab, "Maaf, Bu, ini nomor tiga puluh delapan, lho. Sepertinya Ibu salah tempat duduk." Dengan hati-hati aku menunjukkan nomor yang tertera lalu memberikan kembali kertas itu padanya. Kukira ibu ini tidak sepenuhnya salah. Sebab nomor belakang yang tercetak memang sedikit tidak jelas sehingga angka yang seharusnya delapan terlihat seperti angka tiga. 

"Ya ampun, salah, ya! Maaf ya, Mas, saya pindahin dulu semuanya," ujarnya sambil buru-buru berdiri dan mengambil tasnya dengan cepat lalu menyambar kantong keresek yang diletakkan di bawah kakinya. Tak lupa dia bersiap menggandeng balita kembarnya.

"Em-mm maaf, Bu, saya saja yang pindah kursi. Ibu tetap di sini saja," kataku cepat. Tiba-tiba aku merasa simpati melihat kerepotannya. Sesaat senyum wanita berbaju merah yang lumayan cantik itu mengembang lalu dia mengucapkan terima kasih padaku. 

"Masnya duduk di situ aja. Nanti kalo ada orang baru pindah sesuai nomor," selorohnya sambil meringis menunjuk kursi di depannya yang masih kosong. Aku melirik kursi di sebelahku berdiri saat ini. Lalu sesaat menyapu pandangan hingga ke sudut kabin kereta. Mengingat kereta akan berangkat sepuluh menit lagi, kurasa kali ini kereta memang relatif sepi. Hanya ada penumpang di beberapa kursi sana dan bisa jadi kursi ini memang kosong.

Aku menyandarkan punggung setelah menaruh tas ransel di bagasi bagian atas kursi. Sepuluh menit berlalu setelah peluit panjang dibunyikan oleh petugas, perlahan kereta bergerak meninggalkan stasiun. Aku melempar pandanganku keluar jendela. Suasana sore dalam kereta seharusnya menghadirkan nuansa romantis---sambil membaca buku karangan penulis idola yang sengaja aku bawa dan alunan musik instrumen dari 'earphone' yang terhubung dengan ponselku---tetapi terasa sedikit 'rusak' oleh celoteh riang dan tepuk tangan dua balita kembar di depanku ini. 

Beberapa saat aku hampir tidak bisa mendengar dengan jelas semua pembicaraan mereka. Telingaku penuh dengan suara tiupan saksofon Kenny G dan mataku tertuju pada lembar buku yang kubaca--sebelum salah satu dari si kembar itu terjatuh dari kursi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun