Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi dan anak-anak. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kereta Ini Melaju Lebih Cepat

29 Januari 2021   15:02 Diperbarui: 29 Januari 2021   15:08 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Aku tertawa kecil. Bukan pertama kali tuduhan ini diarahkan padaku. Dianugerahi wajah 'baby face' kerap membuat orang salah menaksir umurku.  

"Saya sudah kerja, Bu. Ini sedang ada tugas dari kantor harus menyelesaikan urusan di Bandung. Umur saya dua lima," kataku menjelaskan. 

"Oh, berarti sama kayak anak saya yang pertama, mamanya si kembar ini," timpalnya dengan mata berbinar-binar. "Anak saya dua. Yang pertama mamanya si kembar. Lalu yang kedua masih kuliah semester empat. Saya menikah muda, lulus SMA langsung ijabsah," kelakarnya seraya tertawa lebar.

 Aku refleks ikut tertawa dan membulatkan bentuk bibir serupa huruf O sambil manggut-manggut. Beruntung sekali wanita ini. Sudah memiliki cucu yang cantik-cantik di usia yang relatif masih muda. Dia juga terlihat cekatan dan luwes memegang balita itu. Si Cemplik sudah tidak menangis lagi. Aku kagum melihat keterampilannya mengasuh anak kecil. Ah, tentu saja, bukankah dia sudah pengalaman?

"Saya dulu mau menikah muda, sebab sudah punya pacar sejak sekolah, Mas. Pacar saya, kakeknya si kembar ini, dulu sudah bekerja. Kami selisih sepuluh tahun. Saat itu saya ndak mungkin kuliah karena ndak punya biaya. Jadi ya, saya pikir menikah sajalah," ujar wanita itu, lagi-lagi dengan tertawa lebar. 

"Senang, ya, Bu, masih pada sehat-sehat," ucapku basa-basi. 

"Kakek si kembar ini sudah meninggal, Mas. Dia kena serangan jantung waktu umur empat dua." Sekilas air muka wanita itu berubah sedikit murung tetapi kemudian tersenyum lagi sambil menatap si kembar secara bergantian. 

Sedikit tak enak hati, aku mengucap maaf pada wanita itu. Dia hanya menggeleng pelan, "Ndak pa-pa, semua sudah jalan-Nya," jawabnya diplomatis. "Saya malah bersyukur di usia segini sudah merasakan semua. Menikah muda, punya anak-anak yang sehat cerdas, suami yang baik dan tanggung jawab, meskipun Tuhan lalu juga mengambilnya lebih cepat. Ndak pa-pa, sekarang saya tinggal menikmati masa tua sama anak-cucu. Hiburan saya ya ini," katanya sambil melirik si kembar dengan tatapan penuh kasih. "Saya ke Bandung juga mau mengantar mereka ke mamanya," imbuhnya, seakan tahu pertanyaan yang ada dalam kepalaku. 

"Oh, jadi putri Ibu tinggal di Bandung, ya?"

"Iya, dua-duanya di sana. Anak Ibu yang kedua kuliah di ITB," jawabnya bangga. "Ibu tinggal di Bekasi karena rumah peninggalan suami masih ada. Biarlah jadi kenang-kenangan kami," pungkasnya. 

Tanpa menimpali perkataannya, lagi-lagi aku hanya tersenyum. Mencoba mencerna pelajaran hidup yang baru saja kudapatkan, bahwa jalan kita di dunia ini sudah diatur dengan sempurna oleh Tuhan. Ada yang lambat, ada pula yang cepat sampai tujuan. Jalani saja dengan gembira, ikhlas dan semangat seperti wanita berbaju merah yang lumayan cantik yang duduk di depanku ini.[*]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun