"Ah, bisa aja kamu, Put" sahutnya malu-malu.Â
"Beneran, Oma."
"Eh, kamu tau, nggak, si Tejo kemarin marah-marah mulu sama aku." katanya tiba-tiba sambil melepas gamis di depanku. Santai sekali. Mungkin aku ini sudah dianggap seperti cucunya sendiri.Â
"Soal apa, Oma?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Tanpa aku bersusah payah memancing obrolan tentang itu, Oma Antik sudah menceritakannya sendiri. Buru-buru aku memasang telinga siap mendengarkan
"Masa dibilang kucingku beol di garasinya? Kan impossible banget! Anabul-ku itu sehari-harinya ada di dalam kandang semua. Kalaupun aku lepas, itu juga malam hari saat semua pintu terkubci rapat. Kamu tahu, kan?"
Aku hanya mengangguk cepat. Semua orang sepertinya juga tahu jika kucing kampung Oma Antik yang berjumlah sepuluh ekor itu berada dalam kandang besar.Â
"Si Tejo itu memang selalu cari gara-gara sama aku. Makanya sering gak aku tanggapi. Buang-buang energi aja!"Â
"Opa Tejo jadi sengaja, ya, Oma? Cari-cari perkara gitu. Naksir Oma, kali? Hihi ...." Aku tidak bisa menyembunyikan rasa geli ini.Â
Wajah Oma Antik langsung merah jambu. Ah, aku semakin gemas melihatnya. Kenapa nenek-nenek ini jadi seperti gadis ABG?Â
"Aduh, Oma pake malu-malu lagi. Gimana, mau Putri comblangin, ya, Oma? Hihi ...."
"Sembarangan kamu, Put! Eh, tapi ... kamu beneran belum tau, ya, Put?"Â